Liputan6.com, Gaza - Rambut pirang, megafon di tangan, juga jaket neon oranye dengan garis-garis reflektif yang ia kenakan -- Rachel Corrie berpenampilan mencolok sore itu, 16 Maret 2003.
Meski mendung sedang menggantung di tengah musim semi, gadis asal Amerika Serikat itu bisa dengan mudah diidentifikasi sebagai aktivis internasional.
Baca Juga
Advertisement
Kala itu, Rachel Corrie sedang berdiri. Ia berusaha mengadang buldoser Caterpillar D9R milik Israel yang akan menghancurkan sebuah rumah milik warga Palestina di kamp pengungsi Rafah, dekat dengan perbatasan antara Jalur Gaza dan Mesir.
Kendaraan berat milik negeri zionis sebelumnya sudah menghancurkan banyak rumah, membuat bangunan-bangunan itu rata dengan tanah.
Rachel Corrie adalah satu dari delapan relawan asal Amerika Serikat dan Inggris yang bertindak sebagai perisai manusia bagi warga Palestina yang ada di sana. Mereka tergabung dalam International Solidarity Movement (ISM).
Meski berteriak menggunakan pengeras suara, melambai-lambaikan tangan, sebuah buldoser milik militer Israel menabraknya, lalu melindasnya.
"Ia berdiri di atas gundukan tanah," kata sesama aktivis, Richard Purssell yang berasal dari Brighton, seperti dikutip dari The Guardian, Jumat (15/3/2019).
"Pengemudi buldoser tidak mungkin tak melihatnya. Saat blade (bagian buldoser) merangsek, tumpukan tanah itu naik. Rachel meluncur turun dari sana. Namun, kakinya terperangkap. Pengemudinya tak lantas melambat, tapi justru menabraknya."
Kendaraan berat itu sempat mundur. Tapi kemudian maju dan melindas gadis muda itu.
Saksi mata lain mengungkap hal serupa. "Busldoser itu maju dengan lambat, ia (Rachel Corrie) jelas terlihat, langsung di depan mereka," kata Tom Dale, aktivis dari Lichfield.
Apalagi, kata dia, para aktivis lain yang ada di lokasi berteriak, berlari menuju buldoser, mencoba mati-matian menghentikan kendaraan itu. "Namun mereka tetap melaju," kata Dale. Insiden itu berlangsung singkat, hanya enam hingga tujuh detik.
Rachel Corrie sempat dilarikan ke rumah sakit Najar, menggunakan ambulans milik Bulan Sabit Merah. Ia masih hidup saat tiba di ruang gawat darurat pukul 17.05. Tak lama kemudian, saat jarum jam menunjuk ke 17.20, ia dinyatakan meninggal dunia.
Gadis pemberani itu pergi dalam usia muda, 23 tahun.
Namun, hasil investigasi militer Israel atau Israeli Defence Forces (IDF) menyebut, pasukannya tak bisa dipersalahkan. Pengemudi buldoser juga tak dilandrat dengan alasan ia tak melihat keberadaan aktivis tersebut.
Tak ada perkara yang diajukan. Kasus kematian Rachel Corrie dianggap selesai.
"Rachel Corrie tidak ditabrak kendaraan teknik, tetapi oleh benda keras, kemungkinan besar lempengan beton yang berpindah tempat atau meluncur turun dari gundukan tanah," demikian kesimpulan IDF.
Para penyelidik Israel juga menuding, Rachel Corrie dan para aktivis International Solidarity Movement (ISM) melakukan tindakan, "ilegal, tak bertanggung jawab, dan berbahaya."
Rachel Corrie juga tak mendapat pembelaan dari warga sebangsanya. Sebagian masyarakat Amerika -- tanah air Corrie -- bahkan berkomentar sinis. Kata mereka, itu tindakan bodoh karena membela 'teroris'.
Jasad Corrie dibawa oleh otoritas Israel ke National Centre of Forensic Medicine, di mana pemeriksaan post-mortem dilakukan.
Tidak ada laporan yang diterbitkan, namun Human Rights Watch mengungkap, kesimpulannya otopsi adalah bahwa kematian korban disebabkan, "tekanan pada dada ... dengan patah tulang rusuk dan tulang belakang ... dan luka sobek di paru-paru kanan dengan pendarahan pada pleura."
Tujuh tahun berlalu, kasus kematian Rachel Corrie baru mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Haifa, Israel, 11 Maret 2010.
"Kami harap proses pengadilan ini akan menguak siapa yang bertanggung jawab atas kematian dan luka yang dialami ribuan orang selama pendudukan Israel. Semoga ini membuka mata dunia pada nasib para aktivis perdamaian yang diserang militer Israel," kata ibu Rachel Corrie, Cindy Corrie, seperti dimuat laman The National.
"Saya dan keluarga kami akan terus menuntut keadilan. Kematian putriku yang brutal tak seharusnya terjadi. Kami yakin, Israel harus bertanggung jawab atas pembunuhan ilegal ini."
Keputusan hakim tak sesuai dengan apa yang diharapkan. Pada 2012, pengadilan Israel memutuskan, pihak Tel Aviv tak bertanggung jawab dalam kematian Rachel Corrie.
Saksikan juga video berikut ini:
Simbol Perlawanan dan Kemanusiaan
Meski sudah lama tiada, Rachel Corrie tak benar-benar mati. Namanya diabadikan dalam sebuah kapal milik Free Gaza Movement: MV Rachel Corrie.
Pada 2010, kapal tersebut dicegat militer Israel saat berupaya menembus blokade Israel atas Gaza, untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan ke wilayah yang menderita akibat blokade.
Rachel Corrie harum namanya. Ia menjadi simbol perlawanan terhadap pendudukan Israel, atas nama kemanusiaan. Bukan agama. Perempuan itu bahkan menentang kebijakan negaranya yang membela Tel Aviv.
Awalnya, Rachel Corrie hanya gadis biasa asal Olympia, Amerika Serikat.
Mahasiswi Evergreen State College ini cuti setahun dari kuliahnya, bergabung dengan International Solidarity Movement (ISM), lalu terbang ke Gaza pada 22 Januari 2003.
Di markas ISM Tepi Barat, Corrie menjalani pelatihan selama dua hari. Ia mendapatkan pelajaran tentang cara-cara menghindari cedera ketika berdemo, menggunakan jaket ngejreng, tidak berlari, tidak mudah takut, berkomunikasi dengan menggunakan megafon, dan memastikan keberadaannya diketahui Israel saat melakukan aksi.
Dalam salah satu surat elektronik yang ditujukan untuk keluarganya, Rachel Corrie mengungkapkan, sebenarnya dia masih ingin berdansa, punya pacar, dan membuat komik.
Tapi Corrie tak bisa diam dan bersenang-senang sementara di belahan dunia lain orang-orang menderita. Dia merasa bertanggung jawab.
"Jika aku terdengar gila, atau jika militer Israel tak lagi punya kecenderungan engganmelukai orang kulit putih. Tolong diingat, aku berada di tengah sebuah genosida, di mana aku secara tak langsung ikut bertanggung jawab -- karena pemerintahku (AS) bertanggung jawab besar atas apa yang saat ini terjadi," kata Rachel Corrie dalam email ke ibunya, 27 Februari 2003, seperti dimuat laman The Guardian.
"Aku bermimpi buruk tentang tank-tank dan buldoser...."
"Di sini aku menjadi saksi dari situasi yang kronis, genosida tersembunyi, dan aku takut......Tapi, ini harus dihentikan. Adalah hal yang baik jika kita mau menanggalkan apapun dan mengorbankan jiwa kita untuk menghentikannya."
Sisi kemanusiaan dalam diri Rachel Corrie sudah tertanam sejak belia. Dalam sebuah pidato yang disampaikan saat masih kelas 5 SD, ia menyebut, adalah mimpinya untuk membantu orang lain lain keluar dari kelaparan dan penderitaan.
"I'm here because I care....," itu yang diucapkan Rachel Corrie cilik. Ia ada di sana, di Gaza, karena ia peduli pada sesama.
Advertisement