Media Sosial, Senjata Sesungguhnya dalam Penembakan di Selandia Baru

Penggunaan media sosial sebagai "senjata" teroris dalam menebarkan ketakutan sudah berlangsung lama.

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 17 Mar 2019, 10:00 WIB
Petugas medis membawa seorang korban penembakan di Masjid Al Noor, Christchurch, Selandia Baru, Jumat (15/3). Penembakan terjadi saat jemaah tengah menjalankan ibadah salat Jumat. (AP Photo/Mark Baker)

Liputan6.com, Jakarta Penembakan di Selandia Baru mengejutkan dunia. Tidak hanya karena kejadian yang berlangsung tiba-tiba, pembantaian yang menewaskan hampir 50 orang di masjid Christchurch itu juga sengaja diunggah pelaku di media sosial.

Hal ini membuatnya banyaknya video terkait penembakan massal tersebut tersebar. Media sosial seperti Youtube-pun dengan cepat menarik semua video brutal tersebut. Namun, banyak orang yang menganggap bahwa hal ini tidak akan segera menghentikan fakta jika media sosial saat ini menjadi senjata sesungguhnya dari teroris.

Mengutip CNN pada Sabtu (16/3/2019), media sosial memang dalam beberapa tahun ini telah digunakan oleh kelompok teroris untuk menyebarkan ketakutan. Di 2013, militan Al-Shabaab mengunggah sebuah cuitan Twitter tentang serangan di pusat perbelanjaan Westgate di Nairobi, Kenya. Sementara pada 2015, seorang teroris menembak mati empat orang di pasar halal Paris timur sembari merekam aksinya dengan kamera GoPro.

"Terorisme adalah kekerasan politik sehingga, para teroris selalu perlu menemukan publisitas untuk mempengaruhi perubahan politik," kata direktur Tech Against Terrorism Adam Hadley.

"Mereka menginginkan audiens, mereka akan selalu pergi ke tempat audiens terbesar. Itu bisa media tradisional atau juga platform media sosial berskala besar," tambahnya.

Saksikan juga video menarik berikut ini:

 


Tidak menontonnya

Polisi mengevakuasi orang-orang saat terjadi insiden penembakan di Masjid Al Noor, Christchurch, Selandia Baru, Jumat (15/3). Saat kejadian ada sekitar 300 orang yang tengah menjalankan ibadah salat Jumat. (AP Photo/Mark Baker)

Penyunting jurnal Critical Studies on Terrorism Lee Jarvis mengatakan, internet telah memberikan orang dengan kepercayaan minoritas untuk saling terhubung. Mereka bisa bertemu dengan orang-orang yang memiliki pandangan sama bagaimana cara membuat situasi normal di dunia.

"Ada kekhawatiran bahwa jika Anda memiliki sejumlah kecil orang dengan ide yang sama, ide tersebut terasa lebih sah dan tersebar luas daripada yang sebenarnya," kata Jarvis.

Berbagai dokumen yang tersebar juga telah membuktikannya. Ada banyak referensi hingga meme, yang mengungkapkan bahwa kelompok supremasi kulit putih melakukan radikalisasi dengan bersosialisasi secara daring. Di sisi lain, Jarvis memiliki keraguan bahwa permainan video memiliki peran langsung dalam serangan teror semacam ini.

"Tapi budaya pop yang dikonsumsi siapa pun, membentuk bagaimana mereka menjalani kehidupan sehari-hari," tambahnya.

Mengutip NZherald.co.nz, psikolog klinis memperingatkan masyarakat agar tidak menonton rekaman mengerikan tersebut. Hal ini bisa meninggalkan trauma, khususnya bagi warga Selandia Baru.

"Menyaksikannya menimbulkan trauma...Itu tidak akan membantu," kata Ian Lambie beberapa waktu yang lalu. Dia mengatakan, hal menyaksikan hal tersebut bisa menimbulkan rasa cemas, tidak ingin meninggalkan rumah, kehilangan minat beraktivitas, serta sulit tidur.

"Tunjukkan hanya kebaikan dan kasih sayang kepada orang-orang," kata Lambie menambahkan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya