Rhenald Kasali: Banyak yang Salah Paham soal Kartu Prakerja

Kartu Prakerja sebenarnya cukup bagus untuk bridging bagi pencari kerja, tapi tidak disukai kaum liberal.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 17 Mar 2019, 10:43 WIB
Calon Presiden petahana Joko Widodo saat memberikan pidato politiknya pada acara Festival Satu Indonesia di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (10/3). Pada pidatonya Jokowi mengenalkan kartu prakerja bila terpilih. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali menyatakan, masih ada orang yang tidak bisa ikut berkembang mengikuti era baru. Akibatnya, terjadi kesalahpahaman dalam mengartikan kebijakan-kebijakan baru pemerintah.

Rhenald menjelaskan, orang-orang tersebut memberikan pandangan yang salah dan tidak bisa mengikuti praktik ekonomi baru yang justru tengah menjadi tren dunia. Praktik ekonomi baru tersebut dijalankan kaum muda dengan prinsip kewirausahaan sosial. 

Dengan kesalahpahaman, akhirnya tak sedikit dari mereka yang mengajak keluar dari ekonomi Pancasila dengan pemikiran-pemikiran neolib populisme.

Ia pun mencontohkan kritik tajam terhadap program-program jaminan sosial (Jokowicare), mulai dari JKN-BPJS, KIP, dan terakhir Kartu Prakerja.

"Kartu Prakerja sebenarnya adalah jaminan sosial yang penting untuk menjawab tantangan disrupsi, menyusul berubahnya The Future of Work sejalan dengan munculnya dunia digital," ucap dia dikutip pada Minggu (17/3/2019).

Kartu Prakerja sebenarnya cukup bagus untuk bridging bagi pencari kerja, tapi tidak disukai kaum liberal.

Dari pemikiran-pemikirannya, kemungkinan pengkritik lebih suka agar negara memberi insentif pada korporasi agar korporasi bisa kembali meraih untung dalam era disrupsi yang kompetitif.

Menurut Rhenald, cara pandang ini sebenarnya secara implisit mencerminkan logika kapitalisme yang bisa mengantarkan pada ketimpangan sosial dan bencana krisis ekonomi seperti yang terjadi di Indonesia 1998 dan di Amerika Serikat pada tahun 2008.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Kartu Prakerja Jangan Terlalu Membebani APBN

Calon Presiden petahana Joko Widodo saat memberikan pidato politiknya pada acara Festival Satu Indonesia di Istora, Senayan, Jakarta, Minggu (10/3). Pada pidatonya Jokowi mengenalkan kartu prakerja bila terpilih. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Rencana peluncuran Kartu Prakerja yang dicanangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat terpilih kembali di periode kedua pemerintahan, 2019-2024 mendatang, membuktikan bahwa Indonesia bukanlah negara kapitalis yang tak peduli pada kesejahteraan warga.

Kartu yang diberikan kepada pencari kerja untuk mendapatkan layanan pelatihan vokasi (skilling, up-skilling, dan re-skilling) dianggap bagus sebagai bridging bagi pencari kerja awal maupun mereka yang terkena ancaman PHK, atau juga tenaga kerja yang terganggu peristiwa digital disruption yang marak dalam lima tahun belakangan ini.

“Hanya pemerintahan yang berjiwa sosial dan pro tenaga kerja yang punya inisiatif memberi insentif pada kaum muda dan pekerja untuk bisa mendapat jaminan kesejahteraan lebih baik, sekaligus kesempatan untuk kembali bekerja," ujar Rhenald Kasali, Guru Besar bidang Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, di Jakarta, Kamis (14/3/2019).

"Kaum liberal biasanya tak setuju dengan gagasan ini. Mereka lebih senang memberi insentif pada industri. Bukan pada pekerja,” tambah dia. 

Dikarenakan manfaat yang besar dari kartu tersebut, yakni para pekerja bisa melakukan upgrade skill, sementara sebagian biaya hidupnya terpenuhi dengan Kartu Prakerja ini, maka Rhenald menyarankan agar dibuat road map yang disusun oleh Kementerian Tenaga Kerja.

Roadmap itu harus mendefinisikan siapa yang berhak menerima jaminan sosial ini, bagaimana bentuknya, dan lama bantuan. Lalu mengenai perencanaan pembiayaan, transformasi balai-balai latihan kerja, kemudian sertifikasi profesi, serta keterlibatan perusahaan swasta untuk melatih ulang,” tambah Rhenald.

Tak kalah penting agar kartu prakerja bisa berjalan efektif sehingga tidak terlalu membebani APBN, yakni perlu dilakukan pembinaan pada kaum muda agar lebih siap memasuki dunia kerja, mendatangkan investor baru, dan menyiapkan para tenaga kerja muda untuk menjadi pelaku ekonomi kreatif yang mandiri (start up).

“Ibaratnya, kita tetap memberikan pancing dan kail, tapi lebih upgrade. Selain itu mekanismenya diatur dengan berdasarkan empat prinsip, yakni transparan, sehingga mencapai sasaran, tetap mengutamakan kemandirian, membenahi skill sehingga tidak memulai dari nol, serta memiliki batas waktu agar yang menggunakan bisa lebih banyak,” ungkapnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya