Liputan6.com, Sumenep Sebagian orang Madura punya cara yang tidak mainstream dalam menyambut pagi. Salam pagi ala Madura adalah menyetel toa langgar keras-keras. Maka, orang-orang kota yang 'hijrah' ke pedesaan untuk mencari pagi yang bersahaja, tak akan menemukannya di Kampung Jetean.
Kampung ini letaknya di Kabupaten Sumenep, tepatnya di Desa Ganding, Kecamatan Ganding. Sekitar 40 menit sebelum pusat kota Kabupaten Sumenep. Jam 02.00 WIB, Sabtu, 16 Maret 2019, ketika Liputan6.com bermalam di sana. Namun, baru setengah jam terlelap, sudah terbangun oleh suara toa dari langgar dekat rumah tempat menginap.
Murotal Syekh As-Sudais, imam besar Masjidil Haram yang merdu, menerabas sunyi malam. Siaran murotal itu bersambung dengan kumandang azan, syi'iran, salat subuh hingga ditutup zikir dan doa. Semua live via toa.
Baca Juga
Advertisement
Rangkaian ini mungkin umum dijumpai di banyak daerah di Indonesia. Yang berbeda, di Jetean adalah setelah salat subuh rampung, toanya terus menyala. Giliran menayangkan ceramah dari siaran radio lokal.
Pagi itu, Nyai Naimah, pengasuh sebuah pesantren di Kecamatan Gapura, yang mengisi pengajian di radio. Acaranya melalui format tanya jawab via SMS. Pertanyaan mulai dari urusan asmara hingga politik. Dan dengan cergas Nyai Naimah menjawab semua pertanyaan yang masuk dengan sudut pandang ilmu fikih.
Halimah, 30 tahun, pendatang di kampung itu karena ikut suami, semula merasa ganjil dengan suara toa pada pagi hari. Namun, kemudian ia menikmatinya, justru kalau suara toa tak siaran seperti biasa, justru terasa ganjil dalam hatinya.
Mendengar ceramah pada pagi hari, bisa mengusir sepi saat beraktivitas pagi, mulai dari rumah dan halaman hingga tuntas pula aktivitas menyiapkan sarapan di dapur. "Suatu hal itu, baru terasa nyaman kalau sudah bertemu sisi positifnya," kata dia.
Simak video pilihan berikut:
Batal Nyolong karena Ceramah
Dan sisi positif juga dirasakan Rahman. Ceramah yang disiarkan toa itu juga bisa jadi teman pengusir jenuh dan sepi saat menyabit rumput di ladang untuk pakan ternaknya. Pernah terlintas dalam pikirannya untuk mencuri rumput di ladang orang yang masih rimbun karena rumput di ladangnya tak lagi bisa dikais. Namun, niat jahat itu urung dilakukan karena ceramah pagi itu membahas tentang dosa dan neraka.
"Mendengar ceramah, mencegah saya mencuri," kenang dia sambil tersenyum.
Kiai Hannan, pengelola langgar yang memutar toa itu sudah sepuh. Ingatannya tak lagi mampu menjangkau kapan pertama kali ia memulai suaran langsung melalui toa. Dia juga tak ingat apa motivasinya. Hanya katanya, dia ingin membagikan hal yang baik buat masyarakat banyak. Baginya, memutar ceramah termasuk kriteria itu.
Pada 2015, ketika saya menemui Nenek Satreya di gubuknya yang reyot, di Kampung Batu Putih, Kecamatan Larangan, Kabupatenn Pamekasan, terdengar suara toa memutar senandung saronen, lagu tradisional Madura yang melengking-lengking, pada siang bolong.
"Di kampung ini, memutar toa sepanjang hari sudah hal yang biasa. Tambah ke utara (telunjuknya menunjuk ke arah yang lebih pelosok) suara toa bakal lebih ramai lagi. Bisa saling bersahutan antar rumah," kata Taufikurrahman, pemuda yang mengantar ke rumah nenek Satreya, tentang toa itu.
Begitulah hidup, sesuatu yang ganjil perlu selalu dicari sisi positifnya agar hidup rukun dan damai. Bisa jadi, bagi Nenek Satreya yang digubuknya tak ada apa-apa, musik saronen dari toa merupakan satu-satunya hiburan yang bisa ia nikmati di tengah segala keterbatasan.
Advertisement