Liputan6.com, Jakarta - Siapa bilang sarung hanya cocok untuk ke masjid atau meronda? Di tangan sederet desainer muda, sarung nyatanya menjadi busana-busana kece yang layak untuk dipakai ke tempat hits semacam mal.
Dalam rangkaian Fashion Nation yang digelar Mal Senayan City, sekitar delapan perancang busana memamerkan karyanya mengolah sarung menjadi pakaian kekinian. Salah satu yang menarik perhatian adalah rancangan Irma Intan yang menampilkan rangkaian gamis dengan sentuhan etnik.
Baca Juga
Advertisement
Rok-rok lebar berwarna dasar hitam menjadi benang merah antara lima busana yang ditampilkan di panggung runway. Menggunakan teknik tumpuk, Irma memanfaatkan kain tenun khas Nusa Tenggara Barat untuk menambah warna pada gamis.
Ada yang dililit biasa, ada yang dibuat seakan jadi rok tumpuk, atau bahkan gaun halterneck. Meski begitu, ia tetap mempertahankan pakem busana muslim untuk tak menonjolkan lekuk tubuh. Para model menggunakan outer untuk menyamarkan bentuk tubuh bagian atas.
Namun yang paling mencuri perhatian adalah penggunaan sarung sebagai kerudung. Ia menambahkan detail kerut di ujung kerudung dan topi pet untuk menahan kain lebar itu tetap di kepala.
Desain yang tak kalah apik adalah karya Raegita Zoro. Rancangan busananya sangat related dengan anak muda lewat penggunaan warna-warna mencolok, seperti shocking pink hingga hijau neon.
Bahan sarung kemudian dipotong sesuai pola sehingga tak lagi berwujud seperti yang dipakai bapak-bapak. Bahan sarung ada yang berwujud menjadi atasan pinguin, rok pensil, hingga rok panjang.
Gaet Generasi Milenial
Samuel Wattimena, kurator fashion show Festival Sarung Indonesia menerangkan kegiatan tersebut bertujuan untuk mendekatkan sarung kepada generasi milenial agar populer seperti batik. Namun, masalah yang dihadapi sarung saat ini bukanlah kurangnya pesanan bagi pengrajin, tetapi soal keterikatan emosional antara sarung dan generasi muda.
"Keunikan dan kelebihan sarung kita itu adalah ada ribuan desa yang memproduksinya dan memiliki ciri sarung berbeda-beda. Itu nggak ada di belahan dunia mana pun. Tapi, kekayaan itu nggak akan jadi apa-apa kalau tidak dikenal generasi selanjutnya," ujarnya saat ditemui usai fashion show di Jakarta, Senin, 18 Maret 2019.
Tak hanya fashion show, ia berencana akan membuka ruang dialog bagi generasi milenial dan para perajin sarung yang ada di desa. Hal itu demi menyambungkan hasil produksi dan keinginan dari generasi muda.
"Saya melihat motif sarung masih yang itu-itu saja, pengulangan, sementara generasi yang sekarang belum ada keterwakilan. Kalau ada dialog, pengrajin bisa tahu minat generasi muda itu seperti apa, sedangkan anak muda bisa lebih memahami makna motif pada sarung," tuturnya.
Advertisement
Ubah Paradigma
Merujuk pada deretan karya yang ditampilkan dalam fashion show tersebut, ia melihat generasi muda cenderung lebih suka mengambil sedikit-sedikit dari bahan sarung untuk kemudian diolah menjadi busana berbeda. Dengan begitu, ia menyarankan pengrajin membuat alternatif produk yang lebih kecil.
"Kalau suka dalam cuplikan begitu, ya pengrajin mending buat yang kecil-kecil daripada langsung bahan tiga meter dipakai semua. It's waste of time, waste energy, and waste material," katanya.
Di sisi lain, ia juga meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lebih proaktif mempromosikan sarung lewat pendekatan budaya. Hal itu penting untuk membuat orang membeli produk bukan semata faktor harga, tetapi lebih pada busana yang dibeli mewakili dirinya.
"Pendekatan budaya harus sudah dimulai. Jadi orang bukan beli karena mahal atau karena murah, tetapi karena mewakili dia," ujarnya.
Di sisi lain, Julie Trisnadewani selaku Ketua 1 SarungFest 2019 menyebut fashion show dan sederet acara yang berkaitan dengan sarung juga bertujuan untuk mengubah paradigma orang tentang busana itu. Pasalnya, orang masih lekat bahwa sarung adalah busana untuk beribadah atau meronda.
"Paradigma itu mau kita ubah, sarung bisa dipakai ke mana-mana. Untuk jalan ke kantor pun bisa," ujarnya.
Saksikan video pilihan berikut ini: