Liputan6.com, Jakarta - Armada pertama atau eerste shipvaart yang diberangkatkan dari Belanda tiba di sebuah pelabuhan kecil di Bantam (Banten) pada 1597. Mereka berniat menghancurkan monopoli Portugis atas rempah-rempah, menggunakan informasi yang diperoleh para intel.
Hanya tiga dari empat kapal yang kemudian berhasil pulang. Banyak kelasi tewas di tengah perjalanan. Namun, muatan lada yang mereka bawa, yang jumlahnya tak luar biasa, sudah mampu menutup biaya seluruh ekspedisi.
Baca Juga
Advertisement
Kala itu, rempah-rempah bernilai lebih mahal dari emas. Pala, cengkeh, kayu manis, lada hitam, jadi daya tarik bangsa Eropa untuk pergi ke wilayah tak dikenal yang kini bernama Indonesia. Mengarungi lautan ganas yang belum terpetakan, dengan peralatan seadanya, bertaruh nyawa demi menangguk untuk besar.
"...ke mana pun keuntungan membawa kita, ke setiap laut dan pesisir, untuk suka cita mencapai pelabuhan-pelabuhan di dunia luas yang kita jelajahi...," demikian cuplikan puisi karya penyair Belanda, Joost van den Vondel pada 1963, seperti dikutip dari situs museum.wa.gov.au
Awalnya mereka datang untuk berdagang, kemudian menetap, dan akhirnya menjajah.
Setelah keberhasilan armada pertama, para pedagang di Negeri Walanda kian bersemangat. Mereka saling berkongsi dengan membentuk lima kumpeni (voorcompagnien).
Armada kedua yang kemudian diberangkatkan jauh lebih sukses. Pada akhir Desember 1601, sebanyak 65 kapal angkat sauh ke Timur Jauh untuk mencari cengkih, pala, kayu manis, jahe, dan kunyit.
"Pada saat rempah-rempah sampai di Eropa," tulis Stephen Bown dalam Merchant Kings, seperti dikutip dari PBS. "Apa yang bisa dipertukarkan dengan sebakul nasi (di Indonesia) ... dihargai mahal dengan perak."
Setahun kemudian, pada 20 Maret 1602, enam perusahaan bersatu membentuk Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Penyatuan tersebut tidak berlangsung secara sukarela, tapi dengan paksaan.
Seperti dikutip dari situs, colonialvoyage.com, Selasa (19/3/2019), paksaan datang dari pihak Pemerintah Belanda untuk meredam kompetisi sengit antar-saudagar. Staten Generaal kemudian memberikan hak monopoli pada VOC dalam semua perdagangan melalui laut dengan Asia melalui Tanjung Harapan dan Selat Magellan.
Pada pertengahan 1600-an, VOC memiliki 150 kapal dagang, 50.000 karyawan, 10.000 tentara swasta, dan pos dagang dari Teluk Persia hingga Jepang.
Efeknya VOC bak 'negara dalam negara'. Ia punya kekuatan untuk berperang, membuat perjanjian dengan penguasa di Asia, menghukum dan mengeksekusi penjahat, membuat koloni baru, bahkan mencetak uang sendiri.
VOC menjelma jadi raksasa perdagangan, perusahaan multinasional pertama di dunia. Dominasi mereka sedemikian rupa sehingga antara tahun 1602 dan 1796, kapal-kapalnya menempuh 5.000 pelayaran dari Belanda ke Asia, lebih banyak dari yang dikirimkan gabungan negara-negara Eropa lainnya. East India Company, perusahaan serupa besutan Inggris kalah jauh, meski mereka kelak lebih sukses pada Abad ke-18.
Seperti dikutip dari DutchReview.com, jika dibandingkan pengiriman barang yang dilakukan perusahaan raksasa Amazon, misalnya, VOC jauh lebih sibuk.
Dari markasnya, Oost-Indisch Huis yang terletak di pusat Kota Amsterdam, perintah datang untuk mengirimkan lebih dari 1 juta penjelajah ke Asia.
VOC juga menjadi perusahaan pertama yang secara resmi mengeluarkan saham, yang mencapai puncaknya pada "Tulip Mania" atau demam tulip yang akhirnya bikin perekonomian Kerajaan Belanda morat-marit.
Kegilaan pada bunga -- yang bukan asli Belanda -- menjadi kasus nyata "financial bubble" atau gelembung ekonomi pertama di dunia. Ketika harga aset menyimpang sangat jauh dari nilai-nilai intrinsiknya.
Saham VOC meningkatkan kekayaan perusahaan menjadi 78 juta gulden Belanda. Jika disamakan dengan nilai dolar Amerika Serikat saat ini, maka nilainya setara dengan US$ 7.900 miliar!
Pada masa kejayaannya, nilai VOC setara dengan Apple, Microsoft, Amazon, ExxonMobil, Berkshire Hathaway, Tencent, dan Wells Fargo jadi satu.
Atau jumlah yang setara dengan produk domestik bruto (PDB) Jepang dan Jerman digabungkan. Itu berarti kongsi dagang VOC adalah perusahaan paling kaya dalam sejarah.
VOC di Indonesia
Bahkan sebelum kelahiran VOC, para pedagang Belanda sudah mengincar Kepulauan Banda, di mana pohon-pohon pala berada.
Pada 1605, pihak Portugis di Amboina menyerahkan markas mereka ke armada VOC yang dipimpin Steven van der Haghen. Ambon menjadi markas VOC hingga tahun 1619.
Jantung utama VOC berpindah dari Ambon ke Batavia di era kepemimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen -- yang berlatar belakang akuntan dan dikenal kasar serta sombong.
Coen mendirikan markas baru di Batavia, setelah merebut kota yang kala itu bernama Jayakerta. VOC kemudian membangun jaringan ratusan pangkalan: dari kantor sederhana dan gudang hingga gedung megah di sana.
Pun dengan sebuah kota mandiri yang dikelilingi tembok pembatas tinggi. Di dalam kompleks bak benteng itu ada kediaman gubernur jenderal dan elite pejabat VOC.
Sebagai Gubernur Jenderal, Jan Pieterszoon Coen melakukan tindakan apa pun untuk mengamankan monopoli VOC dan memperketat penguasaannya atas pulau-pulau di Indonesia. Ia berdalih, rempah-rempah punya arti penting untuk kepentingan nasional Belanda. Perilaku kejam sekali pun.
Ia bahkan mendapat julukan "Ijzeren Jan" atau "Jan Besi", karena kebengisannya.
Coen menangkap, menyiksa, dan membunuh orang-orang Indonesia, terutama mereka yang tak mau memutuskan hubungan dagang yang sudah berlangsung lama dengan pedagang China dan India.
VOC, di bawah Coen, mempekerjakan tentara bayaran untuk meneror lawan, membakar, atau menghancurkan ladang rempah-rempah yang tidak berada di bawah kendali mereka. Tujuannya agar suplai barang berkurang dan harga naik tinggi.
Coen juga memburu para pedagang Portugis dan Inggris, menyiksa atau membunuh saingannya, dan menghancurkan benteng mereka. Pada tahun 1605, VOC mengusir Portugis dari Nusantara.
Kekejaman Coen tidak hanya berlaku pada lawan bisnisnya. Ia, yang merasa sebagai penjaga moral, tega menyiksa anak asuhnya, Sarah, yang ketahuan terlibat hubungan asrama dengan seorang pelaut. Sang kelasi dihukum mati.
Tidak sampai di situ, JP Coen juga merebut paksa pulau-pulau penghasil rempah penting di Maluku. Salah satu catatan kelam yang terus diingat oleh penduduk Maluku adalah ketika JP Coen menghabisi hampir 80 persen warga Pulau Banda. Hal itu ia lakukan demi ambisi menguasai pulau-pulau penghasil pala, jenis rempah yang paling berharga saat itu.
Tak dimungkiri, pria berjuluk Mur Jangkung itu kejam bukan kepalang. Namun di bawah kepemimpinannya, VOC mengalami masa gilang gemilang.
"Di bawah arahan manusia seperti Coen," tulis Stephen Bown dalam Merchant Kings. "VOC pada akhir abad ke-17 menjadi perusahaan terkuat dan terkaya di dunia ... Usahanya terdiri atas konstruksi, penyulingan gula, pembuatan kain, pengolahan tembakau, tenun, pembuatan kaca, penyulingan, pembuatan bir...."
Bown menambahkan, diperkirakan bahwa tiga perempat muatan kapal kargo kala itu dikelola VOC.
"Dengan keuntungan yang dihasilkan VOC, Belanda memasuki masa keemasan, yang memungkinkan orang-orang genius seperti Rembrandt, Vermeer, Descartes, dan Antonie van Leeuwenhoek -- Bapak Mikrobiologi -- untuk bermunculan," tambah Bown.
Advertisement