Liputan6.com, Jakarta - Survei Litbang Kompas mengungkapkan partai pendatang baru pada Pemilu 2019 cenderung memiliki resistensi lebih tinggi ketimbang keterpilihannya. Hal ini dijumpai di semua kontestan partai baru pada Pemilu 2019.
Temuan paling mencolok tampak pada Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Partai yang diketuai Grace Natalie ini, menurut data Litbang Kompas , memperoleh elektabilitas sebesar 0,9 persen. Angka ini jauh dibandingkan dengan tingkat resistensi masyarakat terhadap PSI, yakni mencapai 5,6 persen.
Advertisement
Temuan itu bukan hanya melekat di PSI. Partai-partai pendatang baru lain juga demikian, seperti Partai Berkarya yang mendapatkan elektabilitas 0,5 persen jauh dibandingkan dengan tingkat resistensinya yang mencapai 1,3 persen, Perindo tingkat elektabilitasnya 1,5 persen, sedangkan resistensinya 1,9 persen, Partai Garuda yang memperoleh elektabilitas 0,2 persen lebih kecil dibandingkan dengan tingkat resistensinya yang mencapai 0,9 persen.
Menurut peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indria Samego, mengatakan tren tersebut karena masyarakat masih kurang percaya kepada partai-partai yang belum teruji keberpihakannya kepada mereka.
"Ini gambaran umum tentang partai politik yang memang belum teruji performance-nya dengan baik. Jadi, persepsi publik terhadap partai politik itu makin lama makin menurun. Konsekuensinya pada partai-partai yang baru itu orang juga menganggap ini hanya usaha partai aja, ndak lebih baik," kata Indria saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (21/3/2019).
Indria mengungkapkan, sebab PSI cenderung mendapatkan tingkat resistensi tinggi karena langkah kontra produktifnya tentang menentang Perda Syariah.
"Iya, kalau ditanyakan kepada pemilih Islam ya kontra produktif gitu. Jadi, pada dasarnya publik makin kritis dan berani mengatakan jaminan dari janji-janji itu semua, sehingga mereka resist terhadap partai-partai politik yang baru," ujar Indria.
Sementara Ketua DPP Partai Berkarya Badaruddin Andi Picunang, melihat hal yang wajar bagi partai baru. Menurut pria kelaihar Belopa, Luwu, Sulawesi Selatan ini, Partai Berkarya terus berbenah untuk terus meningkatkan elektabilitasnya.
"Itu kan survei ekstrenal ya dan ya wajar saja ada penilaian itu, kita kan partai baru, belum semua orang baru tahu tentang partai kita. Jadi, kita terus berbenah untuk bagaimana meningkatkan elektabilitas lewat pengurus dan caleg-caleg yang lagi bekerja di lapangan," ujarnya kepada Liputan6.com, Kamis (21/3/2019).
Ia melihat, untuk meningkatkan elektabilitas serta mengurangi resistensi calon konsitituen partainya, Partai Berkarya menggunakan strategi turun langsung ke masyarakat, bahkan dengan door to door.
"Kita banyak turun ke masyarakat lewat program-program ekonomi kerakyatan dan program jangka pendek maupun jangka panjang, maupun door to door untuk meyakinkan masyarakat agar memilih partai ini di Pemilu 2019," ucap Andi.
Ketokohan Soeharto
Kendati begitu, Andi merasa optimistis partainya lolos lantaran mengusung ketokohan Soeharto. Menurut dia, jumlah masyarakat yang mengidolakan pemimpin era Orde Baru itu jumlahnya mencapai 30 persen di seluruh Indonesia.
"Ya itu mungkin salah satu argumen penilain ya, tapi di sisi lain Partai Berkarya ini menjual selain tokoh Pak Harto dengan pikiran-pikiran beliu dan semua anak-anak Pak Harto ada di Berkarya," ujar dia.
"Sekarang itu jadi market tersendiri, karena kita kan visinya memperjuangkan Trilogi Pembangunan Pak Harto yang dulu diwacanakan di zaman Beliau, bisa juga diterapkan saat ini sesuai dengan zaman dari program-program yang positif untuk bangsa kita saat ini," jelas Andi.
Respons berbeda ditunjukan Juru Bicara PSI, M Guntur Romli. Alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir, itu tidak terlalu melihat serius hasil survei Litbang Kompas. Romli menyebut partainya hanya menjadikan survei sebagai referensi untuk mengevaluasi.
"Soal survei, ini kan Kompas hanya salah satu lembaga survei. Kita kan membandingkan juga dengan lembaga survei yang lain. Aslinya kan survei di Y-Publika, Indo Barometer, terus Indef (elektabilitas) kami lumayan menggembirakan ya 3,6 persen, 4,2 persen," ujar Guntur kepada Liputan6.com, Kamis (21/3/2019).
"Tapi intinya, survei Kompas itu menjadi referensi. Kalau itu menggembirakan menjadi semangat. Kalau tidak menggembirakan kita evaluasi lagi untuk melihat lagi kerja-kerja kami gitu," kata Romli.
Dirinya cenderung meragukan hasil survei dari Litbang Kompas itu. Menurut Romli, hasil survei Litbang Kompas dengan SMRC terpaut terlalu jauh.
"Mau ilmiah atau ndak, perbandingan aja Mas. Kompas sama SMRC kan terlalu jauh itu. Iya kan sama-sama baru (keduanya) kan. Kompas aja kaya ndak percaya diri dengan hasil surveinya sendiri," kata Romli.
Terkait besarnya resistensi masyarakat terhadap partainya, Romli membantah hal itu. Menurut aktivis NU itu, di lapangan tidak ditemukan hal demikian.
"Kalau saya lihat di lapangan, blusukan-blusukan ndak ada penolakan, ndak ada resistensi. Saya baru dari Ambon ketemu MUI, ketemu dengan Uskup Agung Ambon di Maluku, terus Sinode Greja Protestan Maluku. Kita semua diterima, bahkan menganggap bahwa PSI itu perjuangannya sama kaya perjuangan tokoh agama Islam, tokoh agama Kristen karena antikorupsi dan anti-intoleransi gitu. Selama ini tidak ada resistensi," ujar Romli.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement