Harga Emas Berpotensi Naik pada Pekan Ini

Analis menilai, harga emas berpotensi menguat. Akan tetapi, investor sebaiknya cermati imbal hasil obligasi ketimbang dolar AS.

oleh Agustina Melani diperbarui 25 Mar 2019, 09:46 WIB
Ilustrasi Logam Mulia (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Harga emas mampu menguat selama tiga minggu berturut-turut di tengah penguatan dolar Amerika Serikat (AS). Akan tetapi, banyak analis mengingatkan investor untuk abaikan volatilitas jangka pendek.

Ini karena dolar AS dan fokus tren jangka pendek yang menguat usai the Federal Reserve atau bank sentral AS berubah secara jelas menjadi dovish atau kurang agresif, menurunkan pertumbuhan dan harapan suku bunga pada 2019.

Optimisme tetap kuat di pasar emas meski emas hanya mampu mempertahankan kenaikan selama sepekan.

Harga emas berjangka untuk pengiriman April naik 0,73 persen menjadi USD 1.312,40. Adapun indeks dolar AS menguat telah bebani pergerakan harga emas.

Pada akhir minggu, dolar AS cenderung tidak berubah usai alami penurunan hampir satu persen usai bank sentral AS menyatakan tidak ada kenaikan suku bunga pada 2019.

Hal ini berbeda dari harapan pada Desember 2018 yang memperkirakan kemungkinan suku bunga acuan the Federal Reserve naik dua kali.

Pada saat sama, bank sentral juga menurunkan perkiraan pertumbuhannya dengan melihat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sebesar 2,1 persen pada 2019. Angka ini turun dari perkiraan Desember sebesar 2,3 persen.

Banyak analis komoditas abaikan kekuatan dolar AS baru-baru ini. Hal ini karena melemahnya mata uang lain. Pada Jumat pekan lalu, euro turun karena sektor manufaktur Jermang mengecewakan. Pound Inggris juga melemah seiring proses Britain Exit (Brexit).

“Saat ini kita berada di dunia yang tidak jelas apa yang bisa gantikan dolar AS,” tutur Analis CMC Markets, David Madden seperti dikutip dari laman Kitco, Senin (25/3/2019).

 

 


Imbal Hasil Obligasi Bayangi Harga Emas

Ilustrasi Logam Mulia (iStockphoto)

Senior Currency Strategist, Bank Of New York Mellon, Neil Mellor menuturkan, dolar AS tetap tangguh dan emas terjebak dalam pola holding ketika pasar menunggu dan melihat rencana bank sentral AS untuk merangsang ekonomi dan inflasi.

"Sampai kita melihat kenaikan inflasi, emas akan berjuang untuk mendorong lebih tinggi," tutur dia.

Sementara itu, Presiden Direktur Blue Line Futures, Bill Baruch menuturkan, meski emas terbebani karena dolar AS lanjutkan penguatan, emas masih menarik dalam jangka panjang. Ini lantaran imbal hasil obligasi yang rendah.

“Harga emas akan menguat dan perlu waktu untuk menguat, Anda hanya harus bersabar. Imbal hasil obligasi rendah dalam jangka panjang menjadi katalis untuk emas,” ujar Baruch.

Ia menambahkan, langkah bank sentral AS menghapus harapan kenaikan suku bunga sebanyak dua kali juga seperti langkah putus asa dari bank sentral AS.

"Mengapa mereka membuat gerakan dovish seperti itu? Anda harus berpikir kalau melihat beberapa hal yang sebenarnya di luar sana. The Fed takut dan itulah masalahnya, mengapa Anda ingin emas dalam jangka panjang,” kata dia.

Selain itu, Fund Manager Incrementum AG, Ronald Stoeferle menuturkan, kekhawatiran resesi akan terus tumbuh. Ini menjadi hal positif untuk emas.

"Gerakan drastic oleh the Fed mengindikasikan mereka melihat sesuatu yang buruk tersembunyi di pasar keuangan dan investor tidak dapat mengabaikan itu," tutur dia.

Namun, Stoeferle melihat, harga emas perlu kembali didorong ke level resistance USD 1.360 sebelum investor memburu emas.

Sedangkan Baruch menuturkan, dolar AS menguat, investor harus ambil pendekatan jangka panjang untuk emas. Ia memilih beli untuk pengiriman Juni pada posisi USD 1.350.

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini

 

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya