Indonesia Jadi Negara Pertama Menerapkan Pembangunan Rendah Karbon

Indonesia sangat menyadari manfaat yang dapat dipetik dengan mengubah pendekatan pembangunan yang menyeimbangkan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.

oleh Liputan6.com diperbarui 26 Mar 2019, 14:31 WIB
Acara Peluncuran Laporan Kajian Pembangunan Rendah Karbon lndonesia, di Ruang Djunaedi Hadisumarto, Kementerian PPN/Bappenas, Selasa (26/3/2019). Dok Merdeka.com/Yayu Agustini

Liputan6.com, Jakarta Indonesia menjadi negara pertama yang menerapkan Pembangunan Rendah Karbon (PRK) dalam rencana kerja. PRK dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024.

Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan pemerintah Indonesia sangat menyadari manfaat yang dapat dipetik dengan mengubah pendekatan pembangunan yang menyeimbangkan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.

"Untuk itu, Bappenas telah berupaya mengarusutamakan kerangka kerja PRK dan kita membutuhkan upaya yang lebih masif lagi. PRK harus menjadi upaya lintas sektor dan harus dijalankan bersama melalui komunikasi secara luas oleh berbagai pihak di semua tingkatan. Saat ini, kita harus bersamaesama menjalankan perubahan menuju PRK,” kata dia dalam acara Peluncuran Laporan Kajian Pembangunan Rendah Karbon lndonesia, di Ruang Djunaedi Hadisumarto, Kementerian PPN/Bappenas, Selasa (26/3/2019).

Menurutnya, ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh melalui PRK. Diantaranya adalah menghasilkan Produk Domestik Bruto (PDB) rata-rata sebesar 6 persen per tahun hingga 2045, lebih tinggi daripada tingkat pertumbuhan saat ini.

PRK juga dapat menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sekitar 43 persen pada 2030, melebihi target penurunan emisi lndonesia yang diniatkan (National Intended Contnbution/NDC).

Terobosan-terobosan ini tertuang dalam laporan yang berjudul Pembangunan Rendah Karbon Perubahan Paradigma Menuju Ekonomi Hijau di Indonesia, yang dihasilkan Kementerian PPN/Bappenas melalui Inisiatif Pembangunan Rendah Karbon/Low Carbon Development Initiatives (PRK/LCDI) dengan melibatkan para mitra pembangunan, institusi riset baik di tingkat nasional maupun internasional, dan Kementerian/Lembaga terkait.

Hasil laporan yang disusun melalui proses teknokratis tersebut akan diintegrasikan ke dalam RPJMN 2020-2024.

"Untuk pertama kalinya, lndonesia secara sistematis mengarusutamakan PRK ke dalam perencanaan pembangunan. Kemajuan pertumbuhan kita tidak hanya diukur oleh PDB, tetapi juga kelestarian lingkungan, efisiensi sumber daya, dan keadilan sosial. Transformasi ini menggembirakan sekaligus menantang," ujar dia.

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com


Manfaat

Wakil Presiden ke-11 Republik Indonesia, Boediono. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Dalam kesempatan serupa, Mantan Wakil Presiden Boediono menegaskan keberhasilan PRK sangat bergantung pada keterlibatan dan partisipasi penuh Pemerintah Indonesia dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk sektor swasta baik di dalam maupun luar negeri, serta masyarakat luas.

"PRK juga dapat menciptakan serangkaian manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan," ujarnya.

Dia melanjutkan, pada 2045, kemiskinan ekstrem dapat diturunkan dari 9,8 persen dari total populasi pada 2018 menjadi 4,2 persen. Lebih dari 15,3 juta pekerjaan tambahan yang lebih hijau tercipta dengan pendapatan lebih baik. Kualitas udara dan air yang membaik juga dapat mencegah 40 ribu kematian setiap tahunnya.

"PRK juga mencegah hilangnya 16 juta hektar kawasan hutan dan menutup kesenjangan kesempatan dari sisi gender dan wilayah," ujarnya.

Diperkirakan total nilai tambah PDB mencapai USD 5,4 triliun, dan investasi yang dibutuhkan untuk rasio PDB lebih rendah dibandingkan dengan bisnis seperti biasa.

Inisiatif PRK juga menjadi dasar mengidentifikasi kebutuhan investasi ekonomi yang kuat, berkelanjutan, dan inklusif. Dengan kebijakan yang jelas dan kemitraan dengan pemangku kepentingan, investasi dan struktur pembiayaan inovatifdapat terwujud.

Beberapa kebijakan yang diambil Pemerintah Indonesia, antara lain: peningkatan bauran EBT 30 persen pada 2045, penurunan intensitas energi 3,5 persen pada 2030 dan 4,5 persen pasca 2030, penegakan hukum terhadap moratorium hutan, kelapa sawit, pertambangan dan lahan gambut, peningkatan target reboisasi lebih dari tiga kali lipat, pemenuhan target air, perikanan, dan keanekaragaman hayati, dan peningkatan produktivitas lahan 4 persen per tahun.

Dengan intervensi tersebut, Pemerintah Indonesia dapat mempertahankan penurunan emisi GRK dalam jangka panjang, sehingga pada 2045 emisi diproyeksikan dapat turun sebesar 75 persen. 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya