Mengenang Tragedi Subuh Situ Gintung

Situ Gintung jebol dan menyapu Kelurahan Cireundeu pada 27 Maret 2009.

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Mar 2019, 07:45 WIB
Danau Situ Gintung sebelum jebol. (istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Jumat, 27 Maret 2009. Pagi buta, bencana itu datang. Tanggul Situ Gintung, Cireundeu, Tangerang, Banten, jebol. Secara tiba-tiba, dua juta meter kubik air di situs warisan Belanda ini tumpah.

Air memorakporandakan Perumahan Cirendeu Permai, menyapu sebagian Kampung Poncol, serta merusak Fakultas Kesehatan dan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Air yang bergemuruh, menghempas, dan menghancurkan rumah-rumah warga, merendam areal seluas 10 hektare di bawahnya. 

Saat kejadian, mayoritas warga sedang tertidur lelap. Merekalah yang akhirnya menjadi korban. Seratus orang tewas dan 100 lainnya hilang hingga kini. Tangis dan derai air mata mengalir deras di Situ Gintung.

Menurut Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane, Pitoyo Subandrio, jebolnya tanggul situ gintung dipicu faktor alam. Saat itu, volume air lebih dari 2,1 juta meter kubik melampaui kapasitas maksimal waduk Situ Gintung.

Penyebabnya, hujan yang terus turun sepanjang hari itu. Alhasil, air meluap dan tumpah dari atas tanggul.

Menteri Pekerjaan Umum saat itu, Djoko Kirmanto, menjelaskan penyebab jebolnya tanggul Situ Gintung adalah cuaca ekstrem. Hujan lebat di luar kebiasaan yang terjadi selama Kamis siang hingga malam menjadi pemicunya. Pada Kamis, curah hujan di wilayah Ciputat Timur memang cukup tinggi, mencapai 113,22 mm per hari.

"Tanggul itu memang terbuat dari tanah, tidak ada pengerasan batu. Lama-lama, tanggul itu erosi, sehingga ketika hujan bertambah deras, tanggul jebol,” ungkap dia.

Djoko juga menambahkan bahwa Departemen Pekerjaan Umum (PU) telah mengecek ulang kondisi Situ Gintung pada 2008.

"Hasilnya, tak ditemukan adanya kelainan fisik.” Jadi, secara resmi pemerintah menganggap bahwa penyebab utama jebolnya tanggul Situ Gintung adalah faktor alam.

Namun penjelasan berbeda justru di dapan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Ahli hidrologi dari BPPT, Sutopo Purwo Nugroho, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) BNPB ini, mengaku menemukan adanya kerusakan tanggul sejak Desember 2008.

Menurut Sutopo, pada 5 Desember 2008 sejumlah peneliti BPPT mendapati keganjilan di Situ Gintung. Saat mengadakan pengamatan visual di sana, mereka mendapati retakan dan rembesan di dinding tanggul.

"Ketika itu ada warga yang mengeluh dan meminta dilakukan perbaikan dan penguatan tanggul,” ungkap Sutopo yang saat itu menjabat sebagai Direktur Bidang Sumber Daya Lahan Kawasan dan Mitigasi Bencana BPPT. 

 


Laporan Diabaikan

BPPT lantas menyampaikan kondisi itu kepada Kementerian PU. Namun laporkan itu diabaikan, Kemenpu menganggap kondisi tanggul masih layak karena kondisi bagian hilir, masih bagus. Revitalisasi situ pun kemudian diarahkan ke bagian hulu.

Temuan BPPT itu dinilai masuk akal mengingat konstruksi tanggul Situ Gintung sudah tua usianya. Seturut sejarah, Situ Gintung dibangun pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 1932 dan selesai pengerjaannya setahun kemudian. 

Berbeda dengan fungsinya sekarang sebagai daerah konservasi dan wisata, awalnya Situ Gintung difungsikan sebagai waduk irigasi.

Situ Gintung bahkan hingga kini, setelah dilakukan penataan,  masih menjadi salah satu lokasi wisata andalan.

Bencana air bah di pagi buta itu akhirnya merusak ratusan rumah warga di Kampung Poncol dan Kampung Gintung.

Sementara beberapa gedung di kompleks Universitas Muhammadiyah Jakarta dan TK Muhammadiyah juga turut rusak. Hingga 1 April 2009, korban tewas akibat bencana tersebut mencapai 100 jiwa. 

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya