Liputan6.com, Garut - Angka janda muda di kabupaten Garut, Jawa Barat meroket dalam tiga tahun terakhir. Dalam catatan Pengadilan Agama Kelas 1A Garut, ada 12.291 janda baru sejak kasus itu diputus pengadilan sejak 2016 hingga akhir tahun lalu.
Juru Bicara Pengadilan Agama Garut Muhammad Dihyah Wahid mengatakan, meningkatnya kasus perceraian disebabkan banyak faktor pemicu.
"Biasanya paling banyak karena ekonomi, kemudian tidak bertanggung jawab, dan lainnya," ujarnya saat ditemui Liputan6.com, Rabu (27/3/2019).
Baca Juga
Advertisement
Dalam prakteknya, rata-rata usia pihak berperkara yang baru mendapatkan status baru menjadi janda, berada di kisaran 23-35 tahun.
"Tetapi yang di bawah usia itu juga sebenarnya ada, namun jumlahnya tidak banyak," ujarnya.
Lembaganya mencatat, dalam tiga tahun terakhir sejak 2016 lalu, angka perceraian di Garut naik hampir 46 persen, dari sebelumnya kasus yang diputus pada 2016 sebanyak 3.642 kasus, menjadi 4.647 kasus pada akhir 2018.
"Kalau jumlah totalnya (mendaftar) bisa lebih dari itu, namun terkadang ada yang dicabut gugatannya," ujarnya.
Bagi mereka yang berperkara, lembaganya biasanya memberikan bantuan hukum melalui pos bantuan hukum pengadilan.
"Biasanya mereka dilayani pengacara masing-masing, sementara kami tidak diperbolehkan menemui para pihak, sebelum ada putusan," ujar dia.
Dihyah menyatakan jika sebagian besar gugatan atau perkara perceraian berasal dari kalangan sipil biasa. "Banyak juga PNS terutama dari kalangan guru pengajar," ujarnya.
Sementara sebaran pihak berperkara, hampir merata di seluruh kecamatan kabupaten Garut. "Tidak yang paling banyak juga tidak ada paling sedikit, intinya jumlah itu semua warga Garut yang mendaftar," kata dia.
Tiga Faktor Utama Perceraian di Garut
Dihyah menyatakan, ada tiga faktor besar yang menjai pemicu utama, naiknya angka perceraian di Garut.
"Sebenarnya ada banyak faktor lain, seperti karena soal hukum (dipenjara), nikah muda, dan lainnya, namun yang paling banyak ada tiga," ujarnya.
Pertama, faktor utama perceraian di Garut disebabkan motif ekonomi. Melemahnya ekonomi sepertinya ikut berdampak pada keharmonisan keluarga di rumah.
"Tetapi kadang yang sudah PNS juga banyak yang daftar (cerai), padahal secara ekonomi untuk di daerah mungkin cukup," ujarnya.
Data Pengadilan Agama mencatat sejak 2016 lalu hingga 2018, total kasus perceraian akibat ekonomi mencapai 5.713 kasus.
"Paling banyak tahun 2017 mencapai 2505 kasus," ujarnya.
Kemudian di posisi kedua ditempati karena tidak bertanggung jawab. Lembaganya mencatat, sejak 2016 lalu, faktor suami meninggalkan istri mencapai 3.011 kasus. "Paling banyak tahun lalu (2018) yang mencapai 1.791 kasus meninggalkan tidak bertanggung jawab," ujarnya.
Sementara di posisi ke tiga terbanyak ditempati, akibat perselisihan atau percekcokan yang terus menerus. Dalam tiga tahun terakhir, tercatat sebanyak 1.388 kasus.
"Kalau yang terus berselisih paling banyak tahun 2017 sebanyak 375 kasus," ujarnya.
Dihyah menyatakan, dalam penanganan pihak berperkara,lembaganya kerap mengedepankan asas berkeadilan bagi kedua belah pihak, sehingga diharapkan sejak mereka mendaftarkan gugatan cerai bisa kembali rukun.
"Namun kami pun tidak bisa menghalangi keinginan mereka," ujarnya.
Ia pun berharap, bagi seluruh keluarga yang rukun, agar mampu mempertahankan biduk rumah tangga dengan damai. "Kita harus pandai bersykur atas seluruh karunia kerukunan rumah tangga," ujar dia.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement