Korban Tewas Pembantaian Etnis di Mali Capai 150 Jiwa, PBB Turun Tangan

Badan HAM PBB, pada Selasa 26 Maret 2019, telah mengirim satu tim penyelidik ke wilayah bergolak di Mopti, Mali, tempat lebih dari 150 orang tewas akhir pekan ini.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 27 Mar 2019, 15:56 WIB
Tentara Mali di reruntuhan bangunan usai konflik komunal berujung pembantaian etnis di Ogossagou, Kota Moptu, Mali. (AFP PHOTO)

Liputan6.com, Bamako - Badan HAM PBB, pada Selasa 26 Maret 2019, telah mengirim satu tim penyelidik ke wilayah bergolak di Mopti, Mali, tempat lebih dari 150 orang tewas akhir pekan ini dalam sebuah konflik komunal berujung pembantaian sekelompok etnis.

Tragedi itu terjadi pada Sabtu 23 Maret 2019 di desa Ogossagou, rumah bagi etnis penggembala, Fulani, dekat kota Mopti di Mali tengah.

Pejabat lokal dan sumber keamanan mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa jumlah korban tewas telah meningkat menjadi 160, sementara kantor hak asasi manusia PBB mengatakan sedikitnya 153 orang tewas, 73 lainnya terluka, dan sekitar 2.000 orang tercerabut dari rumah-rumah mereka.

"Serangan mengerikan menandai lonjakan signifikan dalam kekerasan di seluruh garis komunal dan oleh apa yang disebut 'kelompok-kelompok pertahanan diri', yang tampaknya berusaha untuk membasmi kelompok-kelompok terduga ekstremis secara brutal", kata Ravina Shamdasani, juru bicara kantor hak asasi PBB, seperti dikutip dari Al Jazeera, Rabu (27/3/2019).

Di wilayah Mopti saja, serangan telah menyebabkan "sekitar 600 kematian perempuan, anak-anak dan laki-lakai, serta ribuan orang telantar," sejak Maret 2018, katanya kepada wartawan.

Lebih dari sepertiga dari mereka yang tewas telah meninggal sejak awal 2019, ia menambahkan.

PBB telah mengirim tim yang terdiri dari 10 petugas hak asasi manusia, seorang petugas perlindungan anak dan dua penyelidik TKP ke wilayah Mopti untuk menyelidiki serangan hari Sabtu, kata Shamdasani.

"Kami melakukan kontak langsung dengan pihak berwenang," katanya menambahkan bahwa PBB telah menawarkan untuk membantu "membawa para pelaku ke pengadilan untuk memutuskan lingkaran impunitas."

Sebuah kelompok bersenjata dari kelompok etnis Dogon - komunitas berburu dan bertani dengan sejarah panjang ketegangan dengan Fulani atas akses ke tanah - diduga melakukan serangan Sabtu.

Pada hari Minggu, pemerintah Mali mengumumkan pembubaran satu milisi Dogon.

Shamdasani mengatakan, "dalam banyak kesempatan, serangan dikatakan dimotivasi oleh keinginan untuk membasmi individu-individu yang terkait dengan kelompok-kelompok ekstremis yang kejam."

 

Simak video pilihan berikut:


Pembantaian yang Terarah

Anak-anak di Ogossou-Peulh, Mali tengah, yang menjadi lokasi konflik komunal berujung pembantaian etnis pada 23 Maret 2019 (kredit: UNICEF)

Razia tetap menjadi ancaman yang terus-menerus, dan dalam mosaik etnis di pusat negara itu, serangan telah menelan korban berdarah pada kelompok-kelompok dengan sejarah persaingan.

Fulani, yang sebagian besar beragama Islam, telah dituduh mendukung seorang pengkhotbah yang kejam, Amadou Koufa, yang menjadi terkenal di Mali tengah empat tahun lalu.

Apa yang disebut "kelompok pertahanan diri" telah muncul di komunitas Dogon dengan tujuan menyatakan memberikan perlindungan terhadap kelompok bersenjata Fulani.

"Ada perkembangan stigmatisasi ini ... Mereka sengaja ditargetkan," kata Shamdasani.

Ibrahim Boubacar Keita, presiden Mali, berjanji pada Senin 25 Maret 2019 untuk meningkatkan keamanan selama kunjungan ke daerah tersebut. "Keadilan akan dilakukan," dia bersumpah.

Amadou Diallo, seorang anggota dewan lokal yang mengecam serangan itu sebagai "pembersihan etnis", mengatakan kepada AFP bahwa jumlah korban telah melonjak menjadi 160 dan "mungkin akan lebih tinggi lagi."

Seorang wartawan AFP pada hari Senin mengatakan banyak rumah di desa itu telah terbakar habis dan tanah penuh dengan mayat.

"Saya belum pernah melihat yang seperti itu. Mereka datang, mereka menembak orang, membakar rumah, membunuh bayi-bayi itu," kata penyintas berusia 75 tahun Ali Diallo.

Serangan hari Sabtu adalah yang paling mematikan di Mali sejak intervensi militer pimpinan-Prancis 2013 yang mengusir kembali kelompok-kelompok bersenjata yang telah menguasai bagian utara negara itu.

"Negara tidak ada lagi di sana; tidak ada perlindungan negara untuk memastikan keamanan dan kehadirannya di daerah-daerah itu," Adama Gaye, analis Afrika Barat dan mantan direktur Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika Barat (ECOWAS) blok regional, mengatakan kepada Al Jazeera.

Ia memperingatkan bahwa serangan terhadap Fulani telah menjadi masalah berulang yang perlu ditangani oleh pemerintah Mali dan di tingkat regional.

"Orang-orang telah menyimpulkan bahwa bahkan ada risiko genosida - mereka menggunakan kata genosida mengenai kaum Fulani ... ini adalah situasi yang sangat serius."

Christophe Boulierac, juru bicara badan anak-anak PBB UNICEF, mengatakan kepada wartawan di Jenewa bahwa sekitar sepertiga dari mereka yang tewas adalah anak-anak, dan 31 anak-anak juga terluka.

"Pembunuhan tragis dan keji pada anak-anak yang tak berdaya ini dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya," katanya.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya