Liputan6.com, Jakarta - Meski Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta baru akan beroperasi secara komersial per 1 April 2019, sejumlah kendala sudah muncul dari pengguna MRT, di mana salah satunya adalah sinyal yang hilang saat mereka memasuki rute bawah tanah.
Hal tersebut disebabkan oleh para operator yang masih belum memutuskan untuk memasang jaringannya di jalur bawah tanah MRT.
Advertisement
Banyaknya operator yang enggan membangun jaringan telekomunikasi juga menjadi sorotan Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF).
Menurut Enny, seharusnya seluruh masyarakat dan dunia usaha mendukung program strategis nasional termasuk keberadaan layanan MRT di Jakarta.
Enny menilai, MRT merupakan program strategis nasional dan pionir di bidang transportasi masal modern. Sudah seharusnya perusahaan telekomunikasi mau berkontribusi di program pemerintah ini, dengan membangun jaringan telekomunikasi di sepanjang jalur MRT.
“Pemerintah tentunya membutuhkan kontribusi serta dukungan semua pihak termasuk perusahaan telekomunikasi. Seharusnya perusahaan telekomunikasi mau membangun jaringan telekomunikasi di MRT. Tujuannya agar masyarakat mendapatkan kenyamanan dalam berkomunikasi dan tertarik untuk menggunakan layanan umum seperti MRT,” ujar Enny.
Menurutnya, seharusnya PT MRT Indonesia dan Tower Bersama dapat transparan kepada publik berapa sebenarnya biaya yang dikenakan untuk setiap operator.
Berdasarkan kalkulasi, seharusnya dengan banyak operator yang tertarik membangun jaringan sepanjang jalur MRT, komponen biaya yang ditanggung oleh masing-masing operator justru akan berkurang. Sebab, biaya pembangunan jaringan telekomunikasi di MRT ditanggung renteng oleh seluruh operator.
“Jika memang harga sudah transparan disampaikan oleh PT MRT dan Tower Bersama namun masih ada operator yang tak sanggup membayar, maka operator tersebut tak boleh komplain. Apa lagi menuduh jika ada monopoli oleh salah satu operator. Selain itu pelanggan yang tak mendapatkan layanan telekomunikasi di MRT juga tidak boleh komplain ke pemerintah. Tetapi komplain ke operator mereka yang tak mau investasi di jalur MRT,” jelas Enny.
Tak Menguntungkan
Enny memberikan contoh, di mana tahun yang lalu ada operator yang tak mau membangun di daerah.
Mereka tak mau membangun, lantaran daerah tersebut tak menguntungkan. Mereka hanya mengejar pembangunan di daerah yang menguntungkan saja.
Namun setelah daerah tersebut berkembang dan menguntungkan dari segi bisnis, operator yang tadinya enggan untuk membangun justru malah getol meminta sharing.
“Kelakuan ini sangat aneh. Mereka tidak untuk sharing investasi ketika awal-awal pembangunan. Namun, kini setelah daerah tersebut tumbuh mereka meminta sharing. Itu tidak adil,” tukasnya.
Advertisement
Bisa Berujung Kerugian Besar
Enny mengakui, operator sebagai badan usaha selalu memikirkan soal benefit dan cost. Berbeda dengan Telkom dan Telkomsel yang diminta selalu hadir untuk mewakili negara.
Mereka memang harus terus berinvestasi meski dalam jangka pendek belum menguntungkan. Sementara, operator lain hanya investasi di daerah yang menguntungkan saja.
“Perbedaan ini membuat Telkom dan Telkomsel tidak bisa melakukan perang tarif. Namun operator lain tidak demikian. Dengan enggannya mereka investasi di tempat yang tidak menguntungkan, opportunity operator lain untuk menggunakan tools perang tarif akan semakin besar. Daripada mereka investasi, mending dipakai untuk akusisi pelanggan dengan perang tarif. Ini sangat tidak fair,” papar Enny.
Disampaikan Enny, sebenarnya kompetisi itu bagus. Karena akan menguntungkan konsumen dan mendorong efisiensi serta optimalisasi.
Namun, perang tarif yang saat ini terjadi di industri telekomunikasi nasional sudah kebablasan. Karena sudah menimbulkan ketidakadilan yang bisa berujung pada kerugian besar bagi masyarakat dan negara.
Saat ini, kerugiannya malah sudah tampak, yakni tidak adanya pemerataan layanan telekomunikasi. Saat ini operator yang mampu dan mau investasi serta mendukung program pemerintah hanya BUMN telekomunikasi saja.
Mereka mau investasi di daerah terpencil dan tidak menguntungkan, seperti halnya investasi yang tak menguntungkan di jalur MRT.
“Perang tarif yang saat ini terjadi sudah menimbulkan kerugian sosial. Karena operator tak mampu mendukung program pemerintah dalam pemerataan layanan dan jaringan telekomunikasi. Bahkan operator tak mampu lagi mendukung secara optimal program strategis nasional seperti menyediakan layanan telekomunikasi di jalur MRT,” tegas Enny.
Karenanya, Enny menyarankan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) untuk segera ‘menjinakkan’ perang tarif di industri telekomunikasi. Dengan demikian, operator telekomunkasi memiliki kemampuan untuk mendukung program strategis nasional.
(Jek/Isk)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: