RI Minta Resolusi DK PBB soal Krisis Venezuela Prioritaskan 3 Aspek Ini

Dewan Keamanan PBB gagal sepakat soal dua draf resolusi terkait krisis Venezuela. Indonesia menyarankan tiga hal berikut ini.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 28 Mar 2019, 23:19 WIB
Puluhan ribu demonstran antipemerintah menuntut pengunduran diri Presiden Venezuela Nicolas Maduro di Caracas, Venezuela, Sabtu (2/2). Krisis kekuasaan internal di Venezuela tengah mencapai titik terpanasnya. (AP Photo/Juan Carlos Hernandez)

Liputan6.com, Jakarta - Dewan Keamanan PBB, pada 28 Februari 2019, gagal menyepakati resolusi terkait krisis Venezuela setelah sejumlah anggota menolak dua draf resolusi yang diajukan.

Draf resolusi yang diajukan Amerika Serikat, yang berisi "seruan terselenggaranya pemilu baru; pengakuan terhadap presiden interim John Guaido; serta pengiriman bantuan humaniter asing", ditolak oleh Rusia, China dan Afrika Selatan, demikian seperti dikutip dari news.un.org.

Sementara draf resolusi yang diajukan Rusia, yang berisi "mengutuk campur tangan asing; dan seruan untuk dilakukan dialog antara pemerintah dan oposisi, selaras dengan mekanisme Montevideo -forum yang digagas oleh Meksiko dan Uruguay awal Februari 2019" ditolak oleh AS, Jerman, Polandia, Peru, Inggris, Prancis dan Belgia.

Indonesia, yang merupakan anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB dan memiliki hak suara dalam voting atas dua resolusi tersebut, memilih abstain.

Menjelaskan tentang sikap Indonesia di Dewan Keamanan terhadap resolusi tersebut, Direktur Jenderal Kerjasama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Febrian Ruddyard mengatakan, "abstain bukan berarti kita abai," jelasnya dalam pemaparan capaian triwulan RI di badan kelengkapan PBB tersebut di Jakarta, Kamis (28/3/2019).

"Abstain juga bukan berarti kita tidak punya posisi, justru sebaliknya. Tapi, ada klausul yang kita setujui di satu draf, namun tidak kita sepakati pada draf lain; atau, posisi kita saling beririsan dengan klausul dalam draf kedua belah pihak," lanjut Ruddyard yang menambahkan, "Dan setelah vote, kita memberikan penjelasan kepada pihak pengusul untuk menyampaikan apa yang kita inginkan."

Indonesia, kata Ruddyard, mengusulkan agar Dewan Keamanan mementingkan tiga aspek pada draf resolusi yang seharusnya bisa dirumuskan dan disepakati.

"Pertama, kita ingin Dewan Keamanan PBB menggunakan kapasitasnya untuk menangani masalah di Venezuela dengan perspektif humaniter; kedua, kita ingin agar dewan mendorong penyelesaian krisis melalui mekanisme regional terlebih dahulu; dan ketiga, kita ingin Dewan Keamanan PBB bertindak tanpa ada tendensi menghakimi seputar situasi pemerintahan di sana, terutama terkait isu 'presiden sah dan presiden interim', agar tidak memperuncing permasalahan," lanjutnya.

Khusus pada poin ketiga, Ruddyard kembali menegaskan, "kita tidak ingin Dewan Keamanan memaksakan perubahan rezim. Indonesia menghormati prinsip kedaulatan, tidak mencampuri urusan domestik, namun pada saat yang sama, menekankan pada aspek kemanusiaan."

Indonesia juga menilai bahwa kedua draf resolusi yang dipersaingkan "bermuatan politis yang disuarakan oleh pihak pengusul."

Sejak Januari 2019, Presiden Venezuela Nicolas Maduro telah berjuang untuk menguasai negara itu melawan Juan Guaido, kepala legislatif yang memimpin oposisi Venezuela dan mendeklarasikan diri sebagai presiden interim. Maduro didukung kuat oleh Rusia, sementara Guaido telah diakui sebagai kepala negara yang sebenarnya oleh Amerika Serikat dan banyak kekuatan regional dan negara-negara Eropa.

 

Simak video pilihan berikut:


Opsi Mekanisme atau Badan Kelengkapan PBB Lain, tapi...

Setelah tidak mencapai titik temu pasca-voting 28 Februari 2019, Febrian Ruddyard mengatakan bahwa penyelesaian krisis Venezuela mengalami kondisi vakum di Dewan Keamanan -hingga setidaknya ada draf baru yang bisa disepakati bersama. Tapi, ketika hambatan di Dewan Keamanan terus terjadi sementara krisis semakin menjadi, Ruddyard mengatakan bahwa PBB masih memiliki mekanisme di badan kelengkapannya yang lain untuk memecah kebuntuan.

"Bisa diajukan ke Majelis Umum, menggunakan mekanisme pengajuan draf resolusi uniting for peace (United Nations General Assembly resolution 377 A - the "Uniting for Peace" resolution)," jelas Ruddyard.

Akan tetapi, resolusi yang dihasilkan melalui mekanisme itu tidak 'mengikat secara hukum' seperti halnya yang diproduksi oleh Dewan Keamanan. Resolusi Majelis Umum lebih bersifat 'mengikat secara politis.'

Resolusi yang dikeluarkan Majelis Umum, kata Ruddyard, juga tidak bisa memberikan mandat untuk menggerakkan sumber daya yang ada di PBB. Hanya resolusi yang dikeluarkan Dewan Keamanan yang mampu memobilisasi hal tersebut --mencakup pengiriman tim mediasi (merujuk pada Chapter VI UN Charter) hingga pelaksanaan operasi perdamaian (Chapter VII UN Charter).

Seperti dikutip dari CNN, hambatan internal yang dialami oleh Dewan Keamanan atau badan kelengkapan PBB lainnnya guna bertindak efektif demi warga sipil yang terdampak konflik, kerap menjadi polemik --memicu pada semakin meruncingnya kritik mengenai relevansi organisasi multilateral itu.

Dan, ketika ketegangan diplomatik masih berlarut, kantor koordinasi kemanusiaan PBB (OCHA) telah mendokumentasikan bukti di lapangan berkenaan krisis kemanusiaan di Venezuela.

Kematian bayi telah meningkat lebih dari 50 persen sejak 2017; empat dari lima rumah sakit kekurangan obat-obatan dan staf yang diperlukan untuk operasional.

Hingga saat ini, badan-badan pengungsi dan migrasi PBB (UNHCR dan IOM) memperkirakan bahwa jumlah warga Venezuela yang melarikan diri dari negara mereka mencapai 3,4 juta.

Menyusul kekerasan baru-baru ini oleh pasukan pemerintah selama demonstrasi di penyeberangan perbatasan dengan Brasil dan Kolombia dan bagian lain Venezuela, kantor hak asasi manusia PBB (OHCHR) mengecam penggunaan kekuatan yang berlebihan yang menyebabkan kematian beberapa warga sipil.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya