Liputan6.com, Dublin - Seorang nenek berusia 71 tahun di Skotlandia dilaporkan kebal terhadap rasa sakit jenis apa pun, termasuk ketika kulitnya dibakar api.
Ketidakpekaan perempuan lanjut usia bernama Jo Cameron itu terhadap rasa sakit diduga disebabkan oleh mutasi gen, menurut laporan baru dari kasusnya yang diterbitkan pada 27 Maret dalam Journal of Anesthesia.
Para dokter ahli pertama kali menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda tentang wanita itu, ketika dia menjalani operasi tangan pada lima tahun lalu dan dirinya mengaku tidak merasakan sakit sebelum atau setelah prosedur.
Dia kemudian mengatakan kepada dokter-dokter yang menanganinya bahwa setahun sebelum operasi, dia didiagnosis menderita osteoartritis (kondisi di mana sendi terasa nyeri akibat inflamasi ringan yang timbul karena gesekan ujung-ujung tulang penyusun sendi) di pinggulnya dan hasil CT scan menunjukkan, dia mengalami degenerasi sendi yang parah. Namun sekali lagi, dia tidak merasakan apa-apa.
Baca Juga
Advertisement
"Bila ditelisik ke belakang, saya sadar saya tidak membutuhkan obat penghilang rasa sakit," kata Cameron kepada BBC, yang dikutip dari Science Alert, Jumat (29/3/2019).
"Aku hanya bersikap apa adanya, normal saja, dan merasa bahagia sampai tidak menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda denganku," ucapnya.
Pengungkapan Cameron mendorong sekelompok peneliti di University College London dan University of Oxford untuk melakukan tes genetika guna melihat apa yang menyebabkan dia peka terhadap rasa sakit.
Analisis DNA mengungkapkan adanya dua mutasi genetik yang langka pada tubuh Cameron. Pertama adalah menghilangnya "pseudogen" dalam jumlah kecil--suatu segmen DNA yang dianggap sebagai salinan gen induk yang sudah tidak berfungsi lagi--disebut FAAH-OUT. Kedua yaitu mutasi pada gen asli, lazim dikenal sebagai FAAH.
Setelah diduplikasi dari gen FAAH, pseudogen FAAH-OUT mengakumulasi sejumlah mutasi yang mencegah protein di dalamnya menyatu seperti gen FAAH, kata penulis laporan James Cox, seorang dosen senior genetika rasa sakit di University College London, yang dilansir Live Science.
Sebagai hasil dari mutasi ini, FAAH-OUT mungkin telah mengembangkan fungsi baru, meskipun tidak diketahui dengan pasti apa kegunaan itu.
Kelompok peneliti lain dari University of Calgary di Kanada mengkonfirmasi temuan genetik dengan menganalisis darah Cameron. Periset menemukan bahwa Cameron memiliki kadar senyawa yang lebih tinggi dari manusia pada umumnya di dalam darahnya, yang biasanya dipecah oleh protein FAAH.
Salah satu senyawa tersebut adalah neurotransmitter bernama anandamide, yang telah ditunjukkan dalam penelitian sebelumnya untuk mengurangi kecemasan dan rasa sakit, menurut Cox.
Di satu sisi, Cameron juga mengatakan bahwa dia memiliki sedikit rasa cemas dan tidak pernah panik, bahkan dalam situasi berbahaya sekalipun, menurut pernyataan dari University College London. Lukanya juga cenderung sembuh dengan cepat.
Faktor Lain
Namun, mutasi ini bukan satu-satunya penyebab ketidakpekaan manusia terhadap sakit. Ada mutasi lain--pada gen lain pula--yang disebut CIPA (Congenital Insensitivity to Pain with Anhidrosis). Orang yang mengalami CIPA akan kebal dari rasa sakit seperti tertimpa batu, teriris pisau atau terbakar api.
Dengan adanya kasus Jo Cameron, para peneliti berharap bisa mempelajari lebih jauh fungsi pseudogen FAAH-OUT. Mereka berencana menggunakan teknologi pengubah gen untuk meniru mutasi yang terjadi pada Cameron.
Hal tersebut mungkin mengarah pada penemuan jenis pengobatan yang dapat mengurangi rasa sakit, mempercepat penyembuhan luka pascaoperasi, atau bahkan membantu pasien yang menderita rasa sakit kronis dan gangguan kecemasan.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Tingkat Depresi Rendah
Kombinasi unik dari mutasi genetik menyebabkan Jo Cameron memiliki jumlah anandamide lebih dari dua kali tingkat normal dalam sistem tubuhnya. Secara bersama-sama, mutasi ini tampaknya mengurangi rasa sakit dan kecemasan, sementara juga meningkatkan kebahagiaan, mudah melupakan, dan luka yang cepat sembuh.
Karakteristik lain itu juga membedakan Cameron dari manusia normal pada umumnya. Ketika menjalani tes psikologi, tingkat stres dan depresi dia berada dalam skor terendah.
"Aku gampang melupakan sesuatu yang menyakitkan, lupa akan rasa sakit. Ini menurutku bagus dalam banyak hal, tetapi tidak pada orang lain," ungkap nenek tersebut.
Cameron bahkan menceritakan pengalamannya ketika lengannya patah saat umur 8 tahun, dan tidak sadar kalau anggota tubuh tersebut bengkok. Lalu saat dia kecelakaan fatal, mobilnya terbalik di jalan, dan dengan santainya dia keluar dari mobil sembari mencoba menolong pengemudi lain yang terlibat dalam insiden itu.
Sementara itu, para ilmuwan mencatat bahwa penelitian mereka terhadap Cameron dapat memiliki implikasi "besar", seiring dengan berjalannya waktu.
"Saya akan sangat senang jika ada penelitian genetika yang mengacu pada kasus saya, saya gembira bisa membantu orang lain yang sakit," Cameron menyampaikan.
Advertisement