[Cek Fakta] Prabowo Sebut Korupsi di Indonesia Sudah Sangat Parah

Dalam pemaparan visi dan misinya, Prabowo Subianto menyinggung soal korupsi, yang menurutnya sudah 'sangat parah'.

oleh Hanz Jimenez Salim diperbarui 30 Mar 2019, 20:47 WIB
Capres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri) dan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto (kanan) bersalaman usai debat kedua Pilpres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Calon presiden Joko Widodo atau Jokowi dan Prabowo Subianto kembali dihadapkan dalam debat keempat Pilpres 2019, yang mengambil tema 'Ideologi, Pemerintahan, Pertahanan dan Keamanan, serta Hubungan Internasional'.

Segmen pertama debat diwarnai paparan visi dan misi masing-masing capres. Dalam paparannya, Prabowo Subianto sempat menyinggung soal korupsi.

"Saya berpandangan bahwa korupsi di Indonesia sudah dalam tahap parah. Kalau penyakit sudah stadium empat," kata Prabowo dalam debat yang digelar di Hotel Shangri-La, Jakarta, Sabtu 30 Maret 2019.


Penelusuran Fakta

Transparency International pada 29 Januari 2019 merilis Corruption Perception Index yang ke-23 untuk tahun pengukuran 2018.

 

CPI 2018 mengacu pada 13 survei dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik di 180 negara dan teritori. Penilaian CPI didasarkan pada skor. Skor dari 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih.

Pada CPI 2018 ini mengungkapkan bahwa terjadi dekadensi  atau kemerosotan dalam upaya pemberantasan korupsi oleh sebagian besar negara. Lebih dari dua pertiga negara yang disurvei berada di bawah skor 50 dengan skor rata-rata global 43. Sejak 2015, rerata skor CPI secara global mengalami stagnasi di angka 43.

Temuan ini diungkapkan oleh Patricia Moreira, Direktur Pelaksana Transparency International di Berlin hari ini. "Kegagalan sebagian besar negara untuk mengendalikan korupsi telah terbukti berkontribusi pada krisis demokrasi di seluruh dunia," kata Moreira.

Indonesia untuk kesekian kalinya juga turut serta menjadi salah satu negara yang dinilai.

"CPI Indonesia tahun 2018 berada di skor 38 dan berada di peringkat 89 dari 180 negara yang disurvei. Angka atau skor ini meningkat 1 poin dari tahun 2017 lalu. Hal ini menunjukkan upaya positif antikorupsi yang telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik itu Pemerintah, Komisi Pemberantasan Korupsi, kalangan bisnis dan juga masyarakat sipil," ungkap Wawan Suyatmiko, Peneliti Transparency International Indonesia.

 

 

Terdapat dua sumber data yang menyumbang kenaikan CPI Indonesia di tahun 2018. Yakni Global Insight Country Risk Ratings dan Political and Economy Risk Consultancy. Sementara itu, lima dari sembilan indeks mengalami stagnasi, yakni World Economic Forum, Political Risk Service, Bertelsmann Foundation Transformation Index, Economist Intelligence Unit Country Ratings, World Justice Project – Rule of Law Index.

Sedangkan dua mengalami penurunan yakni IMD World Competitiveness Yearbook dan Varieties of Democracy.

"Peningkatan terbesar dikontribusikan oleh Global Insight Ratings dengan peningkatan sebesar 12 poin dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini dipicu oleh lahirnya sejumlah paket kemudahan berusaha dan sektor perizinan yang ramah investasi. Sedangkan penurunan terbesar dikontribusikan pada IMD World Competitiveness dengan penurunan sebesar 3 poin. Penurunan skor ini dipicu oleh makin maraknya praktik korupsi dalam sistem politik di Indonesia," tambah Wawan.

Menurut Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, Dadang Trisasongko, analisis silang data antara tren korupsi dengan demokrasi di seluruh dunia mengungkapkan bahwa korupsi merupakan virus yang merusak demokrasi. "Korupsi terbukti telah mendorong demokrasi untuk menghasilkan lingkaran setan, di mana korupsi merusak lembaga demokrasi tersebut. Sistem politik dan demokrasi harus diperbaiki untuk kebal dari korupsi. Sehingga akan menghasilkan demokrasi yang berkualitas," ujar Dadang.

"Dari CPI 2018, dapat dilihat bahwa, peningkatkan secara signifikan kemudahan berbisnis memang akan meningkatkan skor CPI. Namun memutus relasi koruptif antara pejabat negara, pelayan publik, penegak hukum dan pebisnis menjadi salah satu kontribusi yang paling berdampak dalam mengurangi korupsi. Di sisi lain, pembenahan lembaga-lembaga politik harus dilakukan secara sungguh-sungguh," tambah Dadang. 

 

 
 
Tanggapan KPK
 
Saat dimintai tanggapan, Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang menyebut, setiap orang punya persepsi tentang situasi bangsanya termasuk peta korupsi.
 
"Persepsi itu bisa datang dari analisis, kemudian analisis yang datang dari fakta, tanggapan, sikap dan cara bersikap rakyat dan penyelenggara negaranya," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu malam, 30 Maret 2019.
 
"Persepsi Stadium IV itu bisa jadi datang dari sikap dan tanggapan yang bersangkutan. Fakta menunjukkan, negeri ini terus berubah dan indeks persepsi korupsinya terus menanjak. Ada perubahan, soal ada banyak yang harus diubah, tentu. Karena ini salah kita semua, mengapa sejak merdeka tidak sustain memenjarakan secara intens dan masif para garong. Dan, secara umum ini sangat ditentukan oleh integritas dan style kepemimpinan nasional suatu negara."

 

Liputan6.com merupakan media terverifikasi Jaringan Periksa Fakta Internasional atau International Fact Checking Network (IFCN) bersama 49 media massa lainnya di seluruh dunia.

Kami juga bekerjasama dengan 21 media nasional dan lokal dalam cekfakta.com untuk memverifikasi berbagai informasi hoax yang tersebar di masyarakat.

Jika anda memiliki informasi seputar hoax yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan kepada tim CEK FAKTA Liputan6.com di email cekfakta.liputan6@kly.id.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya