Liputan6.com, Jakarta Memakai pakaian mahal dan bagus mungkin bagi orang mampu adalah hal yang wajar, namun bagaimana bila seorang yang hidup dalam kemiskinan memaksakan gaya hidupnya?
La Sape, adalah sebuah subkultur yang berpusat pada kota-kota Kinshasa dan Brazzaville di Republik Demokratik Kongo dan Republik Kongo. Seorang penganut La Sape disebut sebagai Sapeur. Gerakan ini menjunjung keanggunan dalam gaya pakaian dan tata krama layaknya pesolek pada zaman kolonial.
Baca Juga
Advertisement
Mereka mendapatkan sukacita sejati dari memamerkan pakaian mereka di jalanan Brazzaville - ibukota negara dan pusat gerakan "La Sape". Berjalan menyusuri jalan berdebu yang dilapisi rumah-rumah dari tanah liat, mereka menoleh dan terasa seperti raja. Dan tidak ada harga yang tidak akan mereka bayar untuk ini.
Fenomena ini sudah terjadi sejak lama dan terjadi pada kalangan yang begitu menggilai fashion. Mereka selalu mengenakan pakaian mahal, mewah dan berkelas agar terlihat seperti kaum burjois. Mereka bahkan rela mengutang, demi bisa dianggap sebagai kaum berstrata sosial tinggi.
Walaupun realitanya mereka adalah orang miskin yang buat makan saja susah. Fenomena ini banyak terjadi di negara berkembang, tapi yang terparah terjadi di negara Brazaville dan Kongo.
Berikut ulasan mengenai La Sape yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Minggu (31/03/2019).
Asal Usul La Sape
La Sape tentu bukan tradisi asli yang berasal dari Kongo, asal-usulnya juga simpang siur dengan berbagai cerita yang berbeda-beda.
Kongo pada masa kolonial Prancis, terdapat tuan tanah yang memberi upah kepada buruhnya berupa pakaian, yang menjadikan mereka menirukan gaya orang Prancis pada saat mereka dijajah.
Sedangkan menurut Hannah Rose Steinkopf-Frank dalam artikelnya yang berjudul La Sape: Tracing the History and Future of the Congo's Well Dressed Men, fenomena la Sape dibentuk oleh remaja asal Kongo yang pindah ke Paris, Prancis.
Remaja yang bernama Jean Marc Zeita itu membentuk perkumpulan imigran muda asal Kongo bernama Aventuries. Dalam Aventuries, para remaja meniru cara berpakaian orang Prancis, kemudian dibawa pulang ke kampung halaman.
Adapula yang beranggapan bahwa La Sape, dipopulerkan oleh Papa Wemba. Seorang musisi Kongo yang ingin tampil beda dari musisi lain. Oleh karena itu ia sering belanja ribuan dollar dan saat tampil bernyanyi ia selalu berpesan agar selalu tampil rapi dan bersih.
Advertisement
Tetap Bergaya dengan Segala Kesulitan
Kamu dapat melihat gambaran sekilas tentang kehidupan La Sape ini dalam uanggahan youtube RT Documentary.
RT Documentary membuat sebuah proyek "The Congo Dandies: Living in Poverty and Spending a Fortune To Look Like a Million Dollars".
Di sana digambarkan di balik citra keberhasilan proyek para dandies ini, sering ada cerita tentang masalah keuangan yang signifikan yang disebabkan oleh hobi mereka yang luar biasa.
Untuk membayar harga pakaian perancang mereka, "sapeurs" harus menyimpan, meminjam, dan bahkan mencuri uang, kadang-kadang membawa kehancuran bagi keluarga mereka.
Tetapi bahkan konsekuensi suram dari kebiasaan berpakaian mereka yang memanjakan sering kali tidak menghentikan "pengemis" dari membelanjakan uang yang sebenarnya tidak mereka miliki.
Mereka berada dalam persaingan yang konstan satu sama lain dan berinvestasi dalam citra mereka lebih penting bagi mereka daripada meningkatkan kondisi kehidupan mereka. Berpakaian dengan cerdas menjadi kecanduan sejati yang sangat sulit ditaklukkan.
Mulai Menemukan Keseimbangan
Namun, beberapa "Sapeurs" berusaha untuk menemukan keseimbangan antara terlihat cantik dan masuk akal dengan pengeluaran mereka.
Mereka bersikukuh bahwa gerakan "La Sape" bukan tentang pakaian desainer melainkan mengembangkan rasa yang sempurna.
Mereka menekankan pada belajar berpakaian dengan baik tetapi sesuai kemampuan seseorang. Dengan cara ini, gaya dan keanggunan akan menuntut lebih sedikit pengorbanan dari penggemar mereka dan akan dapat diakses oleh pria yang lebih canggih.
Advertisement