Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) kembali merilis aturan baru terkait dengan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM).
Aturan baru ini akan mulai berlaku bagi Bank Umum Konvensional (BUK), Bank Umum Syariah (BUS), dan Unit Usaha Syariah (UUS) per 1 Juli 2019.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Linda Maulidina menuturkan, dalam aturan baru ini RIM dan PLM dilakukan penyesuaian kisaran batas bawah dan batas atas dari target RIM dan target RIM Syariah.
Dari sebelumnya masing-masing sebesar 80 persen-92 persen menjadi sebesar 84 persen - 94 persen.
Baca Juga
Advertisement
Dengan begitu, diharapkan penyesuaian ini akan membuat perbankan memiliki likuiditas yang lebih longgar sehingga mampu menyalurkan kredit dengan jumlah lebih besar.
"Perlu juga perluas pembiayaan ini, perlu longgarkan ini. Kalau misal bank sudah optimal berikan kredit, dengan itu peningkatan pembiayaan bisa bertambah, bisa lewat pembiayaan lain selain kredit. Kami lihat bank tersebut masih ada potensi dalam rangka memperluas potensi itu dingkatkan 84-90 persen," kata dia saat ditemui di Gedung BI, Jakarta, Senin (1/4/2019).
Linda menekankan, aturan ini juga merupakan sinyal dari BI mendorong perbankan untuk menyalurkan kredit. Dengan begitu, target pertumbuhan kredit pada 2019 bisa lebih dari kisaran 12 persen.
"Pertumbuhan kredit terkini Januari 2019, 12 persen secara year on year meningkat dari tahun lalu 11,28 persen, ke depan kita akan lebih meningkat," tutur dia.
Adapun pengenaan sanksi bagi BUK yang melanggar kewajiban pemenuhan giro RIM, BUS dan UUS yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro RIM Syariah, dengan kisaran batas bawah dan batas atas dari target yang ditetapkan mulai berlaku pada 1 Oktober 2019.
"Sanksi mulai Oktober 2019, karena (kita) berikan kesempatan itu berarti berikan kesempatan untuk berikan kredit dan pembiayaan lebih banyak lagi," ujar dia.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Kredit Bank Bakal Tumbuh hingga 12 Persen pada 2019
Sebelumnya, Ekonom PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), Ryan Kiryanto menyebutkan prospek ekonomi Indonesia 2019 diperkirakan tetap baik dengan stabilitas terjaga. Pertumbuhan ekonomi diproyeksikan berada pada kisaran 5,0-5,4 persen pada 2019.
Namun demikian, Ryan menegaskan ada beberapa risiko yang harus dihadapi oleh Indonesia. Baik berasal dari eksternal maupun domestik.
Risiko eksternal di antaranya adalah ekonomi global dan volume perdagangan yang semakin melambat, ketegangan perdagangan yang berlanjut, geopolitikal terutama ketidakpastian Brexit dan harga komoditas yang turun.
"Perlambatan ekonomi global, perang dagang belum selesai dan perlambatan ekonomi China. Kombisani ini membuat kita hadapi risiko secara terbuka," kata dia dalam acara pelatihan wartawan Bank Indonesia, di Yogyakarta, Sabtu (23/3/2019).
Kemudian, risiko dari sisi internal atau domestik adalah kondisi defisit transaksi berjalan atau Current Account Defisit (CAD). Kendati demikian, dia optimistis target pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat tercapai pada 2019.
"Kami optimis pertumbuhan ekonomi kita bisa di atas 5 persen, feeling saya 5,2 persen," ujar dia.
Sementara itu, inflasi dipastikan tetap terkendali dalam kisaran 3,5 persen plus minus satu persen. Kredit perbankan akan tumbuh mendekati batas 10-12 persen dan Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh dalam kisaran 8 - 10 persen.
"Sinergi kebijakan untuk memperkuat ekspor, kinerja sektor pariwisata, dan mengendalikan impor akan berdampak pada defisit CAD 2019 menuju 2,5 persen terhadap PDB," ujar dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement