PM Australia Enggan Bantu Anak - Cucu Keturunan Militan ISIS, Ini Alasannya

PM Australia menolak membantu anak-anak keturunan militan ISIS dari Australia, meski keluarga memohon mereka dipulangkan. Mendagri Australia punya pendapat lain...

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 02 Apr 2019, 11:42 WIB
Ilustrasi Anggota ISIS (AFP Photo)

Liputan6.com, Canberra - Perdana Menteri Australia, Scott Morrison menolak membantu anak-anak keturunan mendiang militan ISIS dari Australia, Khaled Sharrouf, menyusul permohonan pihak keluarga kepada Canberra untuk memulangkan mereka.

Penolakan itu mungkin berkaitan dengan keputusan Australia yang telah mencabut kewarganegaraan Sharrouf akibat partisipasinya menjadi kombatan ISIS.

Perdana menteri mengatakan, mereka kini bukan tanggung jawab Australia.

"Saya tidak akan membahayakan satu nyawa orang Australia untuk mencoba dan mengambil orang dari situasi berbahaya ini," kata Morrison kepada wartawan di Canberra, Senin 1 April 2019, dikutip dari the Guardian, Selasa (2/4/2019).

"Saya pikir itu mengejutkan bahwa orang Australia telah pergi dan berjuang melawan nilai-nilai kita dan cara hidup kita dan negara-negara yang cinta damai di dunia demi bergabung dengan perang ISIS."

"Bahkan lebih tercela bahwa mereka menempatkan anak-anak mereka di tengah-tengahnya."

Namun, Menteri Dalam Negeri Australia, Peter Dutton --yang lembaganya membawahi berbagai badan penegak hukum dan intelijen domestik-- punya pendapat lain mengenai nasib anak-anak itu.

Dutton sebelumnya telah mengatakan, meski "kekuatan penuh hukum" akan digunakan terhadap eks-kombatan ISIS dewasa yang kembali ke Australia, namun, anak-anak mereka akan diperlakukan secara berbeda.

"Mereka dapat diberikan bantuan dan berpotensi ditempatkan bersama keluarga lain," kata Dutton seperti dikutip dari the Guardian.

Minta Pulang...

Anak-anak Khaled Sharrouf; Zaynab (17) yang tengah hamil dan telah memiliki dua putri, Hoda (16), dan Hamza (8), saat ini mendekam di kamp pengungsian yang dikendalikan Kurdi di Al-Hawl, Suriah. Bersama mereka, ada delapan perempuan Australia lain, beserta anak-anaknya.

Mereka dilaporkan melarikan diri dari kantung pertahanan terakhir ISIS di Baghouz, sebelum dikuasai oleh paramiliter Kurdi yang dibeking koalisi negara Barat pimpinan Amerika Serikat.

Sharrouf juga memiliki dua putra, Abdullah (8) dan Zarqawi (9), yang diduga menjadi kombatan ISIS namun diyakini telah tewas bersama ayah mereka akibat serangan udara pimpinan AS di Raqqa pada 2017. Kala itu, ketiganya dikabarkan tengah berkendara di wilayah yang sempat dikuasai ISIS tersebut.

Istri Sharrouf dan ibu dari anak-anak itu, Tara Nettleton, diyakini meninggal karena kondisi medis pada tahun 2015, setahun setelah dia mengikuti Sharrouf ke Suriah dari Sydney.

Ibu Tara, Karen Nettleton, telah meminta pemerintah federal untuk membantu keluarganya yang masih hidup untuk kembali ke Australia.

"Mereka bersama militan (ISIS) dari Australia dan negara lainnya (di kamp di Al-Hawl) dan mereka tidak boleh berada di antara semua itu," katanya kepada ABC awal pekan ini.

 

Simak video pilihan berikut:


Simpatisan Asing ISIS Memohon Pulang ke Negara Asal

Ilustrasi ISIS (Liputan6.com/Abdillah)

Kamp pengungsian Al-Hawl menaungi puluhan ribu istri dan anak-anak kombatan ISIS, termasuk warga dari lebih dari 40 negara, dan pemerintah setempat telah memperingatkan bahwa mereka kewalahan.

Setidaknya 80 orang, kebanyakan anak-anak di bawah usia satu tahun, telah meninggal sejak Desember 2018, kata PBB dan badan humaniter International Rescue Committee.

Pada Senin 1 April 2019, Australia melaporkan bahwa di Al-Hawl, ada 19 anak keturunan warga negara Australia yang menjadi kombatan atau simpatisan ISIS.

Harian the Sydney Morning Herald melaporkan pada Senin bahwa seorang mantan pedagang dari Sydney yang ditahan oleh pasukan Kurdi di satu kamp, ​​Mohammed Noor Masri, telah memohon kepada Australia untuk membawanya dan keluarganya pulang.

Masri, 26, mengatakan dia menerima bahwa dia mungkin akan masuk penjara di Australia, tetapi meminta istrinya yang sedang hamil dan ketiga anaknya yang masih kecil, untuk dibawa keluar dari Suriah.

"Menyesal, menyesal. Maksudku, orang membuat kesalahan. Dan Anda harus (bersedia) membayar harganya karena kesalahan Anda," kata Masri kepada the Herald.

Pemerintah di seluruh dunia sekarang bergulat dengan apa yang harus dilakukan tentang anak-anak yatim piatu keturunan kombatan ISIS.

Bulan lalu, Prancis memulangkan lima anak keturunan seorang kombatan Prancis. Pemulangan itu difasilitasi oleh pejabat Kurdi.

Juga bulan lalu, bayi seorang remaja Inggris, Shamima Begum, meninggal di sebuah kamp pengungsi Suriah. Begum telah melakukan perjalanan ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS pada usia 15 tahun. Awal tahun ini dia mengatakan ingin kembali ke rumah, tetapi pemerintah Inggris menolak dan kewarganegaraan Inggrisnya dicabut.


Termasuk Indonesia...

Polisi Irak berjalan sambil berbicara dengan rekannya menggunakan radio saat bertempur melawan militan ISIS di barat Mosul, Irak, 16 Maret 2017. (AP Photo/Felipe Dana)

Indonesia adalah termasuk salah satu negara yang memantau dekat persoalan serupa, mengingat rekam jejak mengenai keterlibatan WNI dalam kelompok teroris itu.

Kementerian Luar Negeri RI mengatakan bahwa perlu ada proses verifikasi khusus bagi para eks-simpatisan atau eks-kombatan ISIS di Suriah yang mengaku WNI dan meminta pulang ke Indonesia.

"Kita perlu melakukan verifikasi apakah mereka WNI. Verifikasi ada prosesnya tersendiri, yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti Kemlu, Kemendagri, BNPT, Polri, dan lainnya," kata Juru Bicara Kemlu RI, Arrmanatha Nasir, di Jakarta, Kamis (28/3/2019).

"Setelah (verifikasi) itu kita baru bisa menentukan apa yang bisa kita lakukan," kata Arrmanatha.

Ia menambahkan, alur lanjutan pascaverifikasi status kewarganegaraan dapat berupa tahapan yang sangat panjang, meliputi analisis profil, keikutsertaan dalam program deradikalisasi, atau bahkan proses hukum.

"Baru setelah itu kita bisa menentukan apakah mereka akan bisa kembali atau tidak," jelasnya.

Namun, Kemlu tidak merinci berapa banyak jumlah mereka atas alasan kesulitan untuk mendata total terduga WNI di Suriah saat ini.

"Dari awal mereka pergi dan masuk (ke Suriah) secara ilegal tidak terdata. Maka, sulit bagi kita untuk mendeteksi mereka sekarang ada di mana," tambah Arrmanatha. Ia juga menyebut bahwa situasi yang tak kondusif di Suriah selama konflik menyulitkan Kemlu RI untuk melakukan pendataan.

Di sisi lain, mantan kepala BNPT Ansyad Mbay sebelumnya menyatakan pentingnya memberikan kesempatan kedua kepada mereka.

"Mereka mendukung ISIS, tapi mereka sebenarnya ditipu. Dari sudut pandang kemanusiaan, siapa lagi yang akan menerimanya jika bukan kita? Kita tidak bisa membuang mereka ke laut, apalagi mereka menunjukkan penyesalan," katanya seperti dikutip dari ABC Indonesia.

"Mari merangkul mereka kembali ke masyarakat dan belajar dari kesalahan mereka."

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya