Hukuman Rajam Sampai Mati untuk Seks Gay Mulai Berlaku di Brunei Hari Ini

Brunei Darussalam mulai memberlakukan undang-undang syariah baru yang salah satunya melarang aktivitas seks gay dengan ancaman hukuman rajam sampai mati.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 03 Apr 2019, 11:26 WIB
Pemimpin Brunei Darrusalam, Sultan Hassanal Bolkiah (AFP/Roslam Rahman)

Liputan6.com, Bandar Sri Begawan - Pemerintah Brunei Darussalam, pada Rabu 3 April 2019, mulai memberlakukan undang-undang syariah baru yang salah satunya melarang aktivitas seks gay (sesama laki-laki) dengan ancaman hukuman rajam sampai mati.

Undang-undang syariah itu juga melarang aktivitas lain, seperti mencuri dengan ancaman hukuman potong tangan hingga aborsi dengan ancaman cambuk publik. Tindakan zinah, sodomi, perkosaan hingga penistaan agama juga dilarang dengan ancaman maksimal hukuman mati.

Hukuman untuk seks lesbian (sesama perempuan) cenderung lebih ringan, tetapi mereka masih bisa dicambuk hingga 40 kali dan dipenjara selama 10 tahun.

Regulasi tersebut telah memicu kecaman dan protes internasional, termasuk yang datang dari Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB.

Komunitas LGBT telah menyatakan keterkejutan dan ketakutan pada undang-undang yang mereka nilai berasal dari "abad pertengahan", demikian seperti dikutip dari BBC, Rabu (3/4/2019).

"Anda bangun dan menyadari bahwa tetangga Anda, keluarga Anda, atau bahkan wanita tua yang baik hati yang berjualan udang di pinggir jalan itu tidak berpikir Anda manusia, dan berpikir biasa saja dengan hukuman rajam," seorang lelaki gay Brunei, yang tidak ingin diidentifikasi, mengatakan kepada BBC.

Di bawah undang-undang yang baru, orang-orang hanya akan dihukum rajam sampai mati karena melakukan hubungan seks gay jika mereka mengaku atau terlihat melakukan tindakan itu oleh empat saksi.

Ilegal Sejak 2014

Homoseksualitas telah dinyatakan ilegal di Brunei sejak 2014, dan dapat dihukum hingga 10 tahun penjara.

Brunei Darussalam sendiri telah mempertahankan hukuman mati tetapi belum melakukan eksekusi sejak 1957.

Brunei yang kaya minyak dan gas diperintah oleh Sultan Hassanal Bolkiah. Sultan 72 tahun mengepalai Badan Investasi Brunei, yang memiliki beberapa hotel top dunia termasuk Dorchester di London dan Beverly Hills Hotel di Los Angeles.

Pekan ini, aktor Hollywood, George Clooney dan selebriti lainnya menyerukan boikot terhadap hotel-hotel mewah sang sultan.

Para penguasa kerajaan Brunei memiliki kekayaan pribadi yang sangat besar dan sebagian besar penduduknya beretnis Melayu menikmati pemberian bantuan negara yang murah hati dan tidak membayar pajak.

Muslim membentuk sekitar dua pertiga dari populasi Brunei Darussalam yang berjumlah 420.000 jiwa.

 

Simak video pilihan berikut: 


Reaksi Masyarakat Brunei

Sultan Hassanal Bolkiah saat naik kereta kerajaan melambaikan tangan kepada warga sekitar selama prosesi Golden Jubilee di Bandar Seri Begawan (5/10). Perayaan tersebut menandai 50 tahun bertahta. (AFP PHOTO / Roslan Rahman)

Seorang gay Brunei berusia 40 tahun yang saat ini mencari suaka di Kanada, mengatakan dampak hukum pidana baru sudah dirasakan di Brunei.

Mantan karyawan pemerintah, yang meninggalkan Brunei tahun lalu setelah didakwa dengan hasutan untuk posting Facebook yang kritis terhadap pemerintah, mengatakan orang-orang "takut".

"Komunitas gay di Brunei tidak pernah terbuka tetapi ketika Grindr (aplikasi kencan gay) datang, itu membantu orang-orang (gay) bertemu secara rahasia. Tapi sekarang, yang saya dengar adalah bahwa hampir tidak ada orang yang menggunakan Grindr lagi," kata Shahiran S Shahrani Md kepada BBC.

"Mereka takut akan berbicara dengan seorang petugas polisi yang berpura-pura menjadi gay. Itu belum terjadi tetapi karena undang-undang yang baru, orang-orang takut," katanya.

Laki-laki Brunei lainnya, yang bukan gay tetapi telah meninggalkan Islam, mengatakan ia merasa "takut dan mati rasa" di hadapan hukum yang sedang diterapkan.

"Kami warga biasa tidak berdaya untuk menghentikan penerapan hukum Syariah," kata pria 23 tahun yang tidak ingin diidentifikasi.

"Di bawah hukum syariah, aku akan menghadapi hukuman mati karena murtad."

Seorang lelaki gay berharap bahwa undang-undang itu mungkin tidak ditegakkan secara luas.

"Jujur, aku tidak terlalu takut karena pemerintah di sini sering menggertak dengan hukuman yang keras. Tapi itu bisa dan masih akan terjadi walaupun itu jarang terjadi."


Hukum Syariah Pertama Brunei Berlaku pada 2014

Ribuan warga mengabadikan moment kadatangan Sultan Hassanal Bolkiah dan Ratu Saleha Brunei pada prosesi Golden Jubileedi Bandar Seri Begawan (5/10). Perayaan tersebut menandai 50 tahun bertahta. (AFP PHOTO / Roslan Rahman)

Brunei Darussalam pertama kali memperkenalkan hukum syariah pada 2014 meskipun ada kecaman yang meluas.

Pemberlakuan itu menjadikan Brunei negara yang menerapkan sistem hukum pidana ganda dengan Syariah dan Common Law. Sultan pada saat itu mengatakan bahwa sistem hukum pidana ganda akan berlaku penuh selama beberapa tahun.

Fase pertama, yang mencakup kejahatan yang dapat dihukum dengan hukuman penjara dan denda (praktik penghukuman Common Law), dilaksanakan pada tahun 2014. Brunei kemudian menunda memperkenalkan dua fase terakhir, yang mencakup kejahatan yang dapat dihukum dengan amputasi dan rajam (praktik penghukuman Hukum Syariah).

Tetapi pada Sabtu pekan lalu, pemerintah merilis sebuah pernyataan di situs webnya yang mengatakan bahwa hukum pidana syariah akan sepenuhnya diterapkan pada Rabu 3 April 2019.

Hukuman mati akan berlaku untuk pelanggaran seperti pemerkosaan, perzinahan, sodomi, perampokan, dan penghinaan atau pencemaran nama baik Nabi Muhammad.

Cambuk publik sebagai hukuman atas aborsi juga berlaku, serta amputasi untuk pencurian.

Perubahan lainnya termasuk menjadikannya sebagai tindak pidana untuk "membujuk, memberi tahu atau mendorong" anak-anak Muslim di bawah usia 18 "untuk menerima ajaran agama selain Islam".

Hukum sebagian besar berlaku untuk Muslim, meskipun beberapa aspek akan berlaku untuk non-Muslim.

Sejak pengumuman itu, ada kemarahan internasional dan seruan agar Brunei berbalik arah.

"Ketentuan kasar ini mendapat kecaman luas ketika rencana pertama kali dibahas lima tahun lalu," kata Rachel Chhoa-Howard, seorang peneliti Brunei di Amnesty International.

"KUHP Brunei adalah undang-undang yang sangat cacat yang berisi berbagai ketentuan yang melanggar hak asasi manusia."

PBB menggemakan pernyataan itu, menyebut undang-undang itu "kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat", dengan mengatakan itu menandai "kemunduran serius" untuk perlindungan hak asasi manusia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya