Menyusun Strategi Melawan Balik Corruptor's Fightback ke KPK

Sejumlah prajurit dan pimpinan KPK mengalami teror. Corruptor's fightback benar-benar nyata. Strategi pun disusun untuk melawan balik pencuri uang negara itu.

oleh Rita AyuningtyasFachrur Rozie diperbarui 04 Apr 2019, 08:08 WIB
Pekerja membersihkan debu yang menempel pada tembok dan logo KPK di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (21/11). KPK merilis Indeks Penilaian Integritas 2017. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta - 21 April 2010, petugas keamanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan gundukan tanah tidak wajar di halaman gedung antirasuah. Setelah digali, mereka terkejut bukan kepalang.

Di bawah gundukan tanah tadi bersemayam benda-benda yang terbungkus kantong plastik hitam. Benda yang membuat bulu roma bergidik ngeri. Kulit kayu berbau wangi kembang dan terdapat tulisan dengan tinta merah.

Selain itu, ada pula bungkus balsem dalam plastik putih. Benda-benda itu diduga sengaja dikirim oleh pihak bermasalah secara gaib dengan keperluan jahat seperti santet.

Suatu hari, para penjaga juga pernah dikejutkan dengan berserakannya garam di halaman Gedung KPK.

27 Mei 2015, teror serupa terulang. Sebuah benda yang berbau mistis kembali ditemukan di KPK. Benda itu berupa bungkusan kecil dari kain putih.

Setelah dibuka, benda tersebut berisi kemenyan,‎ kertas dengan tulisan dalam huruf Arab berwarna hitam dan ada juga yang berwarna merah.

Pantauan Liputan6.com, benda ini ditemukan di depan Gedung KPK, dekat tiang bendera dan pot-pot bunga.

Benda Diduga Berbau Gaib Ditemukan di Depan KPK

Kini, zaman telah berganti. Perlawanan koruptor tak hanya sebatas alam lain. Perlawanannya kian nyata.

9 Januari 2019, botol berisi spirtus dengan sumbu, mirip bom molotov, ditemukan di depan garasi rumah Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif di Jalan Kalibata Selatan No 42C, Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan.

Setelah dicek melalui CCTV, rupanya, sekitar pukul 01.00 WIB, ada orang mencurigakan beraktivitas di depan rumah Laode Syarif.

Tak hanya itu, teror juga dialami oleh Ketua KPK Agus Rahardjo pada hari yang sama. Sebuah benda seperti bom rakitan jenis high explosive ditemukan di rumahnya di Graha Indah, Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat.

Kedua pimpinan lembaga antirasuah tersebut mendapat teror dari oknum yang hingga kini masih dicari oleh kepolisian.

Tak lama setelah itu, pada 2 Februari 2019 malam, dua penyelidik KPK menjadi korban penganiayaan Sekda Papua. Dugaan penganiayaan tersebut terjadi bermula saat Pemerintah Provinsi Papua sedang menggelar rapat di lantai 19 Hotel Borobudur pada malam itu.

Dua penyelidik KPK tersebut tengah melakukan surveillance atas informasi yang didapat lembaga antirasuah. Tak terima difoto-foto pejabat Pemprov Papua pun menganiayanya.

Namun, teror kepada Novel Baswedan lah salah satu perlawanan yang paling membuat gempar.

Kembali lagi ke tahun 2017, teror kepada Novel terjadi pada 11 April usai salat subuh. Hari itu menjadi momen yang tak terlupa bagi penyidik senior KPK tersebut.

Novel Baswedan bersama Wadah Pegawai (WP) KPK memperingati 500 hari penyerangan terhadap dirinya di depan Gedung KPK, Jakarta, Kamis (1/11). Penyidik senior KPK itu diserang dengan air keras pada 500 hari lalu. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Kala itu, lepas subuh, Novel yang sedang berjalan kaki sendirian dari masjid di kompleks rumahnya, menjadi target penyerangan.

Dua orang yang berboncengan sepeda motor menyiramkan air keras ke wajahnya. Cairan asam mengenai kedua matanya. Sakitnya bukan kepalang.

Operasi demi operasi dijalani hingga ke Singapura untuk memperbaiki kedua matanya yang rusak. Kini, baru mata kirinya yang diobati. Itupun, dengan cara yang tak lazim bagi orang awam medis.

Lapisan putih matanya (sklera) ditutup menggunakan gusi karena rusak. Alhasil, matan kiriya tak bisa berkedip. 

"Mata kanan saya ini belum tersentuh obat. Kalau mau diobati dengan keadaan sekarang, dengan teknologi kedokteran sekarang, bisanya dibuat seperti kiri. Mata kiri saya bisa melihat tapi agak sempit. Kalau mata kanan buram," kata Novel Baswedan dalam wawancara khususnya bersama Liputan6.com

Berbicara soal penyerangannya, dia yakin, kejadian dua tahun lalu merupakan perlawanan kembali koruptor ke KPK. Terlebih, saat itu, dia tengah mengusut kasus korupsi besar. Dia pun menduga serangan yang ditujukan kepadanya dilakukan secara sistematis dan terorganisir.

"Artinya memang itu sudah cukup banyak terjadi. ketika terjadi penyerangan kepada saya, membuat saya semakin yakin bahwa ini satu serangan yang dilakukan secara sistematis dan terorganisir. Itu juga bersesuaian dengan hasil rekomendasi dari Komnas HAM yang mengatakan hal serupa, bahwa penyerangan kepada saya sistematis dan terorganisir," lanjut dia.

Meski demikian, Novel tak kapok menumpas korupsi bersama rekan-rekannya. Dia menilai perlawanan balik koruptor merupakan risiko dari pekerjaannya. Corruptor's fightback, kata dia, merupakan keniscayaan.

Dia percaya, hal ini akan terjadi di manapun, di negara manapun.

"Jadi kalau penyerangan koruptor keniscayaan cuman peluang-peluang menjadi lebih besar potensinya. dalam pandangan saya seperti itu. Memang itu kan tidak tiba-tiba terjadi, sebelumnya dimulai dengan beberapa ancaman, dan kemudian sampai ada penyerangan secara nyata. Dan sebelum itu, ada beberapa kawan-kawan di KPK juga diserang," ujar Novel.

Dia mengatakan teror ini tak akan terulang jika pelakunya diusut tuntas. Pengusutan tuntas tersebut akan memberi efek jera kepada pelakunya, baik eksekutor maupun otaknya.

"Apabila hukum ditegakkan, salah satu tujuan dari penegakkan hukum pidana adalah the transeffect, yaitu orang tidak akan berani melakukan hal serupa. Itu yang paling masuk akal menurut saya. Harapan saya tentu, semua serangan kepada orang-orang KPK itu diungkap secara keseluruhan," kata Novel.

Malapetaka Pada 2009

Tak kalah heboh dengan teror kepada Novel Baswedan. Petaka yang terjadi pada 2009 lalu dianggap sebagai salah satu penggembosan yang terencana terhadap KPK.

Pada saat itu, Antasari Azhar yang menjabat sebagai Ketua KPK dituding terlibat kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. 11 Februari 2010, dia divonis 18 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Tapi beberapa pihak menduga ada rekayasa untuk memenjarakan Antasari. Skenario itu diungkap mantan Kapolres Jakarta Selatan, Wiliardi Wizard. Dalam sidang kasus itu, Wiliardi menyatakan, penyidikan kasus pembunuhan Nasrudin diskenariokan untuk menjebak Antasari. Wiliardi mengungkap ada persekongkolan di antara penyidik dan jaksa penuntut umum.

Mantan Ketua KPK Antasari Azhar saat berdiskusi di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Rabu (9/1). Diskusi itu membahas Pelayanan Rakyat Bebas Korupsi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Bambang Soesatyo dalam bukunya Perang-Perangan Melawan Korupsi, menyebut Komisi Yudisial pun menemukan ketidaklaziman di persidangan Antasari.

"Setelah menelaah dokumen pengaduan Anrasari dan dokumen investigasi, KY mengumumkan telah menemukan indikasi pelanggaran profesionalitas hakim yang menangani persidangan Antasari. Menurut KY, para hakim dinilai mengabaikan bukti-bukti kuat serta mengabaikan keterangan ahli senjata, ahli balistik, dan keterangan ahli teknologi informasi (IT). KY juga menilai para hakim mengabaikan bukti baju korban yang tidak pernah dihadirkan di persidangan," tulis Ketua DPR itu.

Jadi, apakah bisa ditarik kesimpulan corruptor's fightback benar-benar nyata?

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menilai, corruptor's fightback memang benar adanya. Namun, sulit untuk membuktikan teror-teror yang dihadapi penyidik dan komisioner KPK terkait dengan kasus yang sedang ditangani.

Jika menganalisis secara sederhana, serangan ke penyidik dan komisioner KPK banyak terjadi. Ada penyidik yang spion mobilnya secara periodik dirusak, ada penyidik yang rumahnya diteror bom palsu, ada pula yang mobilnya disiram air keras, atau barang bukti diambil sepulang dari operasi tangkap tangan dengan cara yang direncanakan sedemikian rupa.

Dia sendiri pernah diingatkan oleh seseorang tentang teror mistis kepadanya. Kepada Saut, orang itu mengatakan, patungnya telah dibuat dan tengah ditusuk-tusuk. 

Padahal, dia tidak mengenal orang yang memperingatkannya itu. Secara misterius, orang tersebut mendatangi Saut.

"Kalau bentuk-bentuk yang lebih fisik sifatnya juga kan kita kan sudah tahu. Tapi kan kita tak bisa mengatakan bahwa itu tujuannya adalah untuk menghentikan proses penegakan hukum yang kita lakukan. Karena kan sampai saat ini, kita belum pernah bawa orang (pelaku). Nah, termasuk juga peristiwa yang terjadi kepada Novel," Saut menjelaskan.

Menurut dia, teror terhadap punggawa KPK banyak macamnya. Tak hanya mistis, fisik atau seperti yang dialami Antasari. Bahkan, ada perlawanan secara konstitusional dan perundangan.

"Kalau dalam bahasa serangan balik dalam pengertian mereka melakukan sesuatu yang sifatnya destruktif terhadap penegakan hukum itu, kan sudah banyak kita lihat. Baik itu secara konstitusional, undang-undang. Kalau konstitusi itu di antaranya praperadilan," kata dia.

"Tapi potongan-potongan informasi itu menunjukkan bahwa memang ada serangan belik itu. Baik itu dalam bentuk fisik, ataupun perlawanan dalam bentuk UU dan seterusnya," lanjut Saut.  

 

Saksikan Video Terkait Corruptors Fightback Berikut Ini:


Susun Strategi

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang saat berbincang dengan Liputan6.com di Gedung KPK. (Liputan6.com/Raden Trimutia Hatta)

Saut Situmorang mengungkap, lembaga antirasuah sedang memutar otak untuk mengantisipasi corruptor's fightback. Strategi demi strategi disusun secara detail dan teliti. Agar tak menimbulkan celah bagi koruptor untuk melawan kembali.

Salah satu strategi yang tengah disiapkan adalah pembentukan Biro Keamanan KPK.

Penggodokan sudah dimulai. Setelah itu, tinggal KPK bergerak mewujudkannya.

Menurut Saut, biro khusus ini bakal melaksanakan pengamanan penyidik, pelaksanaan operasi tangkap tangan, Gedung KPK, dokumen, dan hal lainnya yang bersifat penting untuk penyelidikan/penyidikan kasus.

"Kita akan buat sebuah biro, ini sudah dalam kajian dan tinggal pelaksanaan. Ada suatu biro keamanan. Kalau selama ini kan keamanan ada di bawah biro umum. Jadi sekarang ada suatu biro khusus yang akan mengamankan orang, operasinya, gedung, dokumen dan seterusnya. Nah, biro ini kajian akademinya sudah jalan," kata Saut saat berbincang dengan Liputan6.com.

Dia mengatakan, biro ini diharapkan akan membuat sebuah langkah-langah strategis dan praktis, terkait dengan pengamanan di KPK. Sehingga, lanjut dia, jika terjadi sesuatu KPK dapat memberikan respons yang tercepat.

"Seperti Pak Agus kemarin, dia lapor polsek, dan Pak Laode. Tapi akan jadi lebih indah dan lebih perform ketika kita yang lebih tahu duluan dan kita yang datang duluan. Nah, kita sedang bikin simulasi-simulasi itu, paling tidak untuk di sekitar Jakarta. Di daerah nanti tergantung sejalan dengan perkembangan koordinator wilayah yang masih kita konsepkan," ujar Saut.

Konsep pengamanan tersebut, tengah disusun agar cocok diterapkan dalam jangka panjang. Juga detail.

"Jadi kalau umpamanya ada sesuatu yang kita belum pasti untuk back-up, jangan berangkat dulu. Karena kalau kemudian terjadi sesuatu kita bisa ngejar. Trus kemudian kalau berangkat, mobilnya seperti apa. Makanya sekarang kan kita mulai masuk detail-detail, tujuan borgol. Borgol itu kan maksud kta bukan gagah-gagahan saja. Kan enggak menutup kemungkinan tiba-tiba dia stres atau apa, trus tiba-tiba nyekik sopir, kan kita enggak tahu. Jadi itu contoh-contoh fisik kecil gitu kita sudah harus mulai," lanjut dia. 

Tentu saja, program ini memerlukan tambahan banyak sumber daya manusia. Pimpinan KPK berharap, konsep ini akan rampung sebelum masa tugas kelimanya berakhir.

"Sementara ini kan kita baru koordinasi dengan laporan kemanan di luar, terus kemudian dalam hal ini juga kepolisian, tim kita juga datang, tapi sering terlambat gitu ya. Sehingga kita mau coba kalau umpamanya seseorang, lagi melakukan sesuatu, kemudian bermasalah, mendapat serangan atau apa, kita set up komunikasi sehingga depan cepat memberi tahu ke kita, kemudian kita datang dengan cepat ke lokasi. Kan sekarang banyak aplikasi yang bisa kita pakai," tutur Saut.

Menurut dia, biro ini akan beranggotakan seluruh lembaga intelijen dan penegak hukum. Ada dari militer, kepolisian, hingga intelijen. Sebab, ini terkait dengan hal-hal tersebut.

Lalu, bagaimana dengan strategi KPK untuk melawan corruptor's fightback? Minimal, agar kejadian seperti Novel Baswedan dan dua penyelidik yang dipukul di Hotel Borobudur, tidak terulang.

"Sekarang kita lagi tingkatkan mindset intelijen anak-anak (pegawai KPK) nih. Supaya dia lebih aware, lebih peka, enggak terlalu polos menanggapi (tugas) penegak hukum hanya mencari fakta-fakta hukum, tapi bagaimana prinsip intelijen bisa digunakan," ujar Saut.

Salah satunya dengan mengirim penyidik dan penyelidik ke Federal Bureau of Investigation (FBI). 


Sejarah Corruptor's Fightback di Tanah Air

Ilustrasi Korupsi (iStockPhoto)

Ketua DPR, Bambang Soesatyo dalam bukunya, Perang-Perangan Melawan Korupsi, mengungkap perlawanan koruptor kepada lembaga pemberantas korupsi sudah terjadi sejak zaman Orde Lama. 

Pada zaman pemerintahan Presiden Sukarno, pemberantasan korupsi sudah dilakukan. Adanya UU Keadaan Bahaya, dibentuk lembaga bernama Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) yang dipimpin oleh AH Nasution dan dibantu dua anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai dirinya dalam bentuk isian formulir yang disediakan.

Namun, para pejabat korup melakukan perlawanan.

"Mereka bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa pertanggungjawaban secara langsung harus kepada Presiden. Akhirnya formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tapi langsung ke Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik yang terjadi saat itu, Para berakhir tragis, deadlock dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda," tulis Bambang.

Setelah Paran berakhir dengan kegagalan, Sukarno menggelar Operasi Budhi untuk mengusut kasus korupsi hingga ke pengadilan. Target lainnya adalah membongkar perusahaan negara yang bobrok.

Ternyata operasi ini juga menjadi masalah. Dirut salah satu BUMN saat itu menolak diperiksa dan meminta ke Sukarno untuk dimutasi ke luar negeri.

"Celakanya Sukarno setuju. Kendati demikian operasi itu bisa menyelamatkan uang negara Rp 11 miliar. Angka yang cukup besar pada masa itu. Belakangan pemerintah justru terusik dengan operasi Budhi. Sebab, Nasution yang memimpin Paran dan Budhi mencium korupsi dalam pemerintahan Sukarno. Maka Wakil PM Soebandrio mengumumkan pembubaran Paran dan menghentikan Operasi Budhi," ungkap Bambang.

Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan 16 Agustus 1967, Presiden Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama. Soeharto menilai pemerintahan Sukarno tak becus memberantas korupsi. Dia pun membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.

Namun, keseriusan TPK mulai dipertanyakan.

Soeharto kemudian menunjuk Komite Empat yang beranggotakan tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, Prof Johannes, IJ Kasimo, Me Wilopo, dan A Tjokroaminoto untuk membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina dll.

"Kinerja empat tokoh ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina misalnya, sama sekali tak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite inipun menjadi alasan utama," kata Bambang.

Pada era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh Presiden BJ Habibie. Pemerintahannya bersama DPR menelurkan UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.

Kemudian dibentuk berbagai komisi atau badan baru seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, arau Lembaga Ombudsman.

Sementara pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000.

"Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review MA, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya dengan UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami KPKPN seiring dengan dibentuknya KPK. Tugas KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru dan masih eksis hingga kini," tulis Bambang.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya