Liputan6.com, Chicago - Chicago, Amerika Serikat, mencetak sejarah baru dengan memilih wali kota wanita pertama dari kulit hitam, yaitu Lori Lightfoot. Tak hanya itu, peremupan Afrika-Amerika ini juga seorang lesbian yang sudah memiliki pasangan sejenis.
Lightfoot adalah mantan jaksa penuntut federal yang belum pernah terpilih menjadi pejabat publik sebelumnya. Saat pemungutan suara, wanita 56 tahun ini berhasil menyingkirkan 13 kandidat saingannya, termasuk Toni Preckwinkle --wanita Afrika-Amerika lainnya.
Advertisement
Lightfoot juga mendominasi pemilihan putaran kedua dengan mengantongi lebih dari 74% suara.
"Di luar sana, malam ini, banyak perempuan dan laki-laki yang menonton kita di sini. Mereka mengawasi kita dan mereka melihat 'awal' dari sesuatu yang sedikit berbeda," katanya di hadapan para pendukung usai pengumuman kemenangan, Selasa, 2 April 2019.
Selama kampanye, Lightfoot berjanji akan memberantas korupsi politik dan membantu keluarga berpenghasilan rendah di Chicago, tak terkecuali kelas pekerja yang katanya telah "ditinggalkan dan diabaikan" oleh kelas penguasa politik.
Larangan penggunaan senjata api dan kebijakan terkait juga menjadi agenda utama yang akan difokuskan oleh Lightfoot, di mana ia memimpin sebuah kota yang diliputi oleh kekerasan dan pembunuhan geng tingkat tinggi.
Lightfoot yang punya anak seorang gadis, pernah memimpin satuan tugas akuntabilitas polisi kota. Badan ini didirikan setelah kematian remaja berusia 17 tahun bernama Laquan McDonald di tangan seorang perwira polisi pada tahun 2014 dan kasusnya yang diduga ditutup-tutupi.
Dia juga mengepalai Chicago Police Board, sebuah lembaga pengawas sipil yang mendisiplinkan petugas polisi.
Selain di Chicago, tujuh kota besar di AS kini sudah dipimpin oleh perempuan kulit hitam, termasuk Atlanta, New Orleans, dan San Francisco.
Lightfoot akan dilantik pada 20 Mei nanti dan menggantikan wali kota sebelumnya, Rahm Emanuel.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Slovakia Punya Presiden Perempuan Pertama Pendukung LGBT
Sementara itu, Slovakia punya kepala negara perempuan pertama dalam sejarah negara itu. Zuzana Caputova terpilih sebagai presiden setelah berhasil memenangkan Pilpres 2019.
Caputova, yang hampir tidak memiliki pengalaman politik, mengalahkan diplomat terkenal Maros Sefcovic dari partai yang memerintah lewat pemilihan putaran kedua, demikian seperti dikutip dari BBC, Minggu 31 Maret 2019.
Dengan hampir semua suara dihitung, Caputova telah memenangkan sekitar 58 persen, sementara Maros Sefcovic mendulang 42 persen pada putaran kedua.
Untuk diketahui, dalam pemungutan suara putaran pertama, Caputova memenangkan 40 persen suara, dengan Sefcovic meraih kurang dari 19 persen.
Sang presiden, membingkai pemilihan itu sebagai perjuangan antara "yang baik dan yang jahat."
Caputova juga mereferensi kasus pembunuhan jurnalis investigasi tahun lalu sebagai alasannya maju sebagai kandidat capres.
Jan Kuciak diduga tewas ketika tengah meliput dugaan hubungan antara politisi dan kejahatan terorganisir di Slovakia ketika dia ditembak bersama tunangannya, Martina Kusnirova, pada Februari 2018 --atau beberapa bulan jelang pemungutan suara berlangsung.
Pembunuhan tersebut memicu gelombang protes jalanan terbesar di Slovakia sejak demonstrasi anti-Komunis tahun 1989 dan menyebabkan pengunduran diri kepala pemerintahan kala itu, Perdana Menteri Robert Fico.
Caputova mengawali karierya sebagai pengacara ternama ketika dia memimpin sebuah kasus melawan tempat pembuangan limbah ilegal yang berlangsung selama 14 tahun.
Berusia 45 tahun, seorang janda cerai dan ibu dua anak itu adalah anggota partai Progressive Slovakia berhaluan liberal, yang tidak memiliki kursi di parlemen.
Di negara di mana pernikahan sesama jenis dan adopsi belum sah, pandangan liberalnya mempromosikan hak komunitas LGBTQ+.
Lawan yang dikalahkannya, Maros Sefcovic, adalah diplomat ternama Slovakia yang juga menjabat sebagai wakil presiden Komisi Eropa.
Sefcovic dicalonkan oleh partai Smer-SD yang saat ini memimpin pemerintahan, yang dipimpin oleh Robert Fico. Namun, partai itu tengah tercoreng noktah hitam usai PM Fico terpaksa mengundurkan diri guna menjawab protes massa, menyusul mengemukanya kasus pembunuhan jurnalis Jan Kuciak.
Sebagian besar massa menuduh pemerintahan Fico dan partai Smer-nya secara tidak langsung bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut. Penyelidikan selanjutnya menemukan hubungan antara pria yang sekarang dituduh memerintahkan pembunuhan, Marian Kočner, dan politisi serta pejabat terkemuka.
Advertisement