DEN Paparkan Alasan RI Belum Bisa Pakai Mobil Listrik

Anggota DEN, Rinaldy Dalimi, mengaku tidak setuju terkait upaya mendorong masuknya mobil listrik secara besar-besaran ke Indonesia

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Apr 2019, 16:00 WIB
Mobil listrik spesifikasi Rally Dakar garapan Institut Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, dan Universitas Budi Luhur (UBL), yang disebut Blits siap menjelajah Indonesia.(Arief/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Rinaldy Dalimi, mengaku tidak setuju terkait upaya mendorong masuknya mobil listrik secara besar-besaran ke Indonesia. Salah satunya lewat pembebasan bea masuk mobil listrik.

"Saya termasuk yang tidak setuju apabila mobil listrik dibebaskan pajaknya masuk ke Indonesia ini," kata dia, dalam pameran 'The 7th Edition of INAGREENTECH 2019', JI-Expo Kemayoran, Jakarta, Kamis (4/4/2019).

Jika mobil listrik dibebaskan pajaknya, harga jual mobil listrik akan menjadi murah dan dapat dibeli oleh masyarakat. "Harga mobil listrik mungkin jadi murah, Rp 60 juta, Rp 70 juta sudah bisa dapat. Kita semua bisa beli," urai Dalimi.

Namun, yang menjadi persoalan adalah PLN sebagai produsen listrik, kata dia, masih belum mampu memasok listrik untuk kebutuhan mobil listrik.

"Bayangkan kalau kita sudah gunakan mobil listrik semua, malam hari kita charge, PLN belum siap untuk menanggungnya," ungkapnya.

Perusahaan listrik pelat merah tersebut memang memiliki kelebihan pasokan listrik. Akan tetapi, hanya terjadi di pulau Jawa. Selain itu, kelebihan pasokan tersebut terserap semuanya oleh industri.

"PLN memang memiliki kelebihan pembangkit tapi itu di pulau Jawa dan itu akan pada saat industri sudah berkembang lagi itu (kelebihan pasokan listrik) akan kurang," ujar dia. 

"Jadi kelebihan sementara tidak bisa dijadikan kebijakan untuk menerapkan mobil listrik besar-besaran di Indonesia," ia menambahkan.

 

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com


Kembangkan Pasar Mobil Listrik Murah, RI Harus Belajar dari Negara Ini

Peserta menaiki motor listrik yang dipamerkan di Kawasan Jakarta Convention Center (JCC) di Jakarta, Minggu (3/12). Inovasi-inovasi ini diharapkan dapat meningkatkan kinerja PLN dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Thailand telah memiliki skema mobil ramah lingkungan dan mobil listrik terpisah dalam beberapa waktu terakhir.

Programnya, adalah untuk jenis kendaraan tertentu, seperti mobil kecil yang terjangkau, dan kedua mobil hybrid dan plug-in hybrid, atau mobil listrik.

Dengan skema ini, pembuat mobil tertarik dengan keringanan pajak dan fasilitas lainnya. Saat ini, pemerintah Thailand telah membuat skema lain, dan program Eco EV akan menggabungkan sedikit dari kedua skema sebelumnya.

Seperti namanya, skema mobil ini akan untuk mobil listrik dengan harga terjangkau, dan Kantor Ekonomi Industri Kerajaan (OIE) telah bertemu dengan Toyota, Honda dan Nissan untuk membahas skema dan menawarkan insentif.

"Eco EV bertujuan untuk menutup celah setelah pemerintah meluncurkan skema EV pada akhir maret 2017, karena skema tersebut seharusnya tidak menjadi hambatan bagi skema eco car saat ini," jelas Direktur Jenderal OIE, Nattapol Rangsitpol, seperti dilaporkan Bangkok Post dilansir Paultan, Selasa 19 Maret 2019.

Lanjutnya, pihak OIE menemukan bahwa skema mobil listrik di Negeri Gajah Putih tidak efektif dalam meningkatkan produksi massal pasar mobil listrik, dan melokalisasi pembuatan komponen penting untuk mobil listrik.

Dengan menggambarkan skema EV saat ini, merupakan tiket gratis dan terbuka bagi pembuat mobil untuk menghasilkan mobil ramah lingkungan di segmen kendaraan apa saja.

"Secara lokal, hanya ada mobil listrik hybrid mahal dengan harga di atas satu juta baht, sama seperti sebelum skema mobil listrik," tegasnya.

Usulan OIE adalah agar mobil hybrid ringan diubah menjadi mobil listik harga terjangkau.

"Hibrida ringan di bawah program Eco EV dapat menawarkan harga mulai dari 500.000 hingga 700.000 baht, setara dengan mobil ramah lingkungan yang tersedia di pasar lokal," kata Nattapol.

Sementara itu, Departemen Cukai negara itu mengatakan, Eco EVs dapat dikenakan pajak sebesar 4 persen, setara dengan hibrida dan jauh lebih rendah dari 10-14 persen mobil ramah lingkungan saat ini.

Namun, tiga pembuat mobil Jepang teratas yang menjadikan Thailand sebagai pusat produksi, seperti Toyota, Honda dan Nissan menolak usulan tersebut. Tiga produsen mobil ini meminta perpanjangan satu tahun untuk tawaran itu.

Menanggapi penolakan tersebut, Thailand sepertinya bakal menjalankan program ini dengan pabrikan lain, seperti Mitsubishi, Suzuki, dan Mazda.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya