Pemerintah Harus Beri Insentif Buat Energi Terbarukan

India memberikan insentif bagi setiap rumah yang mau memasang panel surya.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Apr 2019, 19:15 WIB
Petugas memeriksa panel surya (Solar Cell) di gedung ESDM, Jakarta, Rabu (2/3/2016). Manfaat pengunaan panel surya untuk industri dapat menghemat energi serta biaya ketika puncak beban listrik tinggi di siang hari. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Rinaldy Dalimin, mengatakan bahwa pengembang energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia perlu dukungan serius dari pemerintah. Sebab salah satu tantangan yang dihadapi adalah kebutuhan terhadap penggunaan EBT masih rendah.

"Memang beban atau kebutuhan dalam negeri harus diciptakan oleh pemerintah. Di dalam kebijakan energi Nasional dan rencana umum energi nasional (RUEN) sampai 2050 seluruh kantor pemerintah pasarng solar sel. Penerangan jalan pasang solar sel. Seluruh rumah mewah pasang solar sel 15 persen sampai 20 persen dari kebutuhan," kata dia, dalam pembukaan pameran 'The 7th Edition of INAGREENTECH 2019', JI-Expo Kemayoran, Jakarta, Kamis (4/4).

"Kalau ini kita jalankan di seluruh Indonesia kebutuhan akan muncul industri akan muncul dan harga solar sel akan tertekan," lanjut dia.

Dia mengatakan mayoritas negara yang sedang gencar mengembangkan EBT memberikan subsidi dan insentif guna mendorong penggunaan oleh masyarakat, juga untuk menarik masuknya investasi.

"Disubsidi lebih bagus. Semua negara di dunia memberikan subsidi. Tujuannya supaya perkembangan kemampuan teknologi, kemampuan industri cepat dan menimbulkan pasar," jelasnya.

India misalnya memberikan insentif bagi setiap rumah yang mau memasang panel surya. "India beri insentif untuk semua rumah yang mau dipasang solar sel di atap. Insentif kepada investor lewat bank," ungkapnya.

"Yang punya rumah tidak perlu keluarkan uang untuk pasang solar sel, tapi selama 6-7 tahun dia bayar listrik seperti sebelumnya. Setelah itu milik pemilik rumah. Sekarang antre. Dan sekarang perusahaan energy service seperti ini tumbuh di India," imbuhnya.

Tak hanya itu, pemilu rumah pun dibebaskan dari biaya pemeliharaan selama 25 tahun. Biaya pemeliharaan menjadi tanggung jawab perusahaan yang memasang solar panel.

"Kita tidak perlu pemeliharaan selama 25 tahun, dijamin. Kalau rusak perusahaan itu yang menjamin. Kita tidak keluarkan uang, setelah 6-7 tahun jadi milik kita. Setelah itu listrik kita gratis selamanya," tandasnya.

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com


RI Terus Genjot Pemakaian Energi Terbarukan

Ilustrasi panel surya (iStock)

Pemerintah, khususnya Kementerian ESDM, terus mendorong penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Tanah Air. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan energi fosil.

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Harris mengatakan, cadangan energi fosil terus berkurang setiap tahun. Oleh karena itu, jika sumber energi alternatif tidak dipersiapkan sejak dini, dapat menggangu kebutuhan akan energi

"Kalau kita kembali melihat kepada bagaimana energi di Indonesia sampai dengan saat ini, kita masih menggunakan energi fosil sebanyak 90 persen lebih. Batu bara paling banyak kemudian minyak dan gas. Karena terus berkurang pemanfaatannya, maka kita kurangi," kata dia, dalam pembukaan The 7th Edition of INAGRRENTECH 2019 di JI-Expo Kemayoran, Jakarta, Kamis (4/4/2019). 

Dia menuturkan, untuk mengurangi penggunaan energi fosil, diperlukan langkah-langkah untuk meningkatkan penggunaan EBT.

"Untuk melakukan itu maka peran energi bersih yang terbarukan, yang sustainable kita tingkatkan. Wujudnya lewat tenaga angin, tenaga matahari yang wujudnya banyak. Ini belum diterapkan maksimal karena perannya di bawah 10 persen," urai dia.

Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bauran energi baru terbarukan (EBT) untuk pembangkit listrik masih 12,4 persen pada 2018. Sumber energi terbesar untuk pembangkit listrik masih berasal dari batu bara sebesar 60,5 persen dan gas bumi, 22,1 persen.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya