Liputan6.com, Semarang - Keberadaan dukun dalam perhelatan pemilu, ibarat penumpang gelap dalam kereta api. Dukun tak pernah diakui oleh para politisi, namun diam-diam menebar pengaruh.
Analisa dan riset lebih fokus pada aspek-aspek rasional, ideal, dan obyektif dalam Pemilu. Sesungguhnya fenomena dukun dalam politik pemilu di Indonesia sudah berlangsung lama dan sangat naif untuk diabaikan.
Kehadirannya dipercaya menguntungkan kekuasaan dan keamanan pengguna jasanya dalam kontestasi politik. Tema cerita pekan ini bermaksud memotret keberadaan jasa dukun dalam politik kontemporer.
Tulisan ini tidak bertujuan untuk membuktikan realitas empiris apakah ilmu mistik yang gaib dari para dukun itu benar adanya. Namun setidaknya bisa tergambar bahwa fenomena dukun sangat mewarnai kontestasi politik Indonesia.
Baca Juga
Advertisement
Secara sosiologis, fenomena dukun bukan barang baru. Dukun adalah orang yang dipercaya memiliki kekuatan dan mampu menggunakan kekuatan magisnya untuk keuntungan pihak tertentu.
Dukun politik menjanjikan keuntungan dan kemenangan penggunanya di ranah politik. Jangan mencari riset akademik tentang hal ini. Tak akan ada. Dukun politik mendapat tempat khusus dalam dinamika politik kekuasaan jaman Orde Baru. Orang kuat sekelas Soeharto juga dangat dikenal gemar berinteraksi dengan dukun yang disebut sebagai 'penasihat spiritual'.
Kyai Muchsin (samaran), adalah seorang dukun yang rutin didatangi politisi Senayan. Ia keberatan disebut sebagai dukun. Menurutnya, zaman Soeharto terdapat dukun-dukun loyal yang 'memagari' kepemimpinannya.Nama-nama seperti Romo Marto Pangarso, Romo Diat, Soedjono Hoemardani, Ki Ageng Selo, Soedjarwo, Darundrio, Mbah Diran, serta Eyang Tomo hanya sedikit nama yang menjadi semacam rahasia umum.
"Selain manusia-manusia linuwih, ada pula kepemilikan benda-benda gaib, pulung dan kekuatan mistis. Pak Harto itu punya 113 pusaka dari seluruh penjuru tanah air yang dipercaya menjaga kekokohan kekuasannya," kata Kyai Muchsin.
Simak video pilihan berikut:
Ciri-ciri Politisi Berdukun
Zaman berganti. Pemilu multi partai dan pemilihan langsung sudah digelar. Partai-partai besar semacam Golkar, PDIP, PAN, Gerindra, Partai Demokrat dan PKS menempatkan kajian rasional dengan polling sebagai acuan pemenangan.
Menguatnya pemikiran ilmiah dan rasionalistas-obyektif, benarkah mampu meminggirkan peran dukun?
"Nggak juga. Malah sekarang persaingan di internal partai makin kuat. Misalnya sama-sama dari satu partai, antara caleg satu dan lainnya sudah perang dukun sejak sebelum penyusunan nama caleg," kata kyai Muchsin.
Peta politik menjadi rumit. Lembaga survey dan dukun bersatu, seakan tak bisa dikalahkan. Lembaga survey mengukur popularitas, elektabilitas partai dan calon, sedangkan dukun mengintip pulung, menyiapkan benda pusaka, hingga merumuskan mantera.
Lembaga survey bertugas meningkatkan elektabilitas, dukun meningkatkan karisma dan pamor. Lembaga survey memetakan kebiasaan pemilik suara, dukun memetakan siapa lawan siapa kawan.
Psikolog RS St Elisabeth Semarang, Probowati Tjondronegoro MSi menyebutkan dukun mengambil tugas yang tak ditangani lembaga survey.
"Hasil survey diumumkan terbuka dimaksudkan agar citra menguat. Tapi dukun akan bekerja diam-diam agar manteranya bertuah," katanya.
Sementara itu perilaku politisi yang memanfaatkan dukun, sering dimanfaatkan orang-orang tertentu menjadi "dukun" dadakan. Tentu ia bekerja dalam tim, dimana ada anggota yang bertugas mempromosikan dari mulut ke mulut.
"Saya pernah kedatangan seorang calon Wali Kota Semarang. Saya asal ngomong saja agar sejak datang ke tempat saya hingga hari pemilihan agar tak tidur dengan istri," kata Sarno (samaran).
Disampaikan saat itu ia memakai nama berbeda. Saat itu politisi di Semarang banyak yang menjadi kliennya.
"Saya bukan dukun. Salah sendiri mereka datang dan nurut apa kata saya," katanya.
Advertisement
Tak Ada Ruang Untuk Diskusi
Sarno adalah dukun dengan spesialisasi memberi jasa 'mengawal' politisi saat pemilu. Biasanya ia diminta untuk memberi hiasan dan ‘memagari’ kandidat dan keluarganya dari santet dan gangguan lawan-lawan politiknya dalam pemilu.
Di banyak tempat, peran dukun sudah sampai tingkat TPS. Malam hari sebelum TPS digunakan, dukun mengelilingi TPS dan menabur beras kuning, garam, dan lain-lain.
Psikolog Probowati Tjondronegoro menyebut bahwa masyarakat seperti menerima hadirnya dukun. Namun calon-calon justru menyembunyikannya.
"Untuk menjaga persepsi publik dan citra bahwa aktor politik akan mendapat cap syirik, tidak percaya diri, dan dikendalikan oleh sesuatu yang irasional," kata Probowati.
Menyembunyikan praktek perdukunan tidak berarti bahwa proses ini tidak bisa ditelusuri. Salah satu langkah sangat sederhana mengetahui apakah dukun ikut bertindak dalam sebuah perhelatan politik adalah mengamati kegiatan pemenang pasca-Pilkada.
Setiap pengguna dukun politik hampir pasti akan selalu mensyaratkan adanya upacara sakral pasca-kemenangan sebagai langkah melunasi nazar. Melunasi nazar inilah salah satu indikasi paling sederhana adanya peranan dukun.