Liputan6.com, Jakarta - Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno menghormati keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tetap tak memasukkan Oesman Sapta Odang (OSO) dalam Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPD 2019-2024. Pratikno meyakini KPU adalah lembaga yang bekerja sesuai dengan landasan hukum.
"Sekali lagi itu wilayah keputusan KPU, kami paham dan hormati KPU sebagai lembaga independen," kata Pratikno di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (5/4/2019).
Advertisement
Pratikno menegaskan, surat yang dikirimkan Istana bukanlah untuk mengintervensi KPU. Dia menjelaskan, surat yang dibuatnya untuk menindaklanjuti surat yang dikirim Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) kepada Presiden Jokowi.
Surat tersebut berisikan permohonan agar Presiden meminta KPU menjalankan putusan PTUN Nomor 242/G/SPPU/2018/PTUN-JKT. Putusan ini memenangkan OSO dan memberikan hak untuk mengikuti pemilihan legislatif.
"Jadi surat surat yang semacam itu, jadi intinya setiap kali ada surat ketua PTUN, Mensesneg atas nama presiden itu mengirim surat kepada pihak yang diwajibkan oleh PTUN untuk menindaklanjuti. Itu selalu begitu," ujarnya.
Kendati begitu, Pratikno menegaskan bahwa Presiden Jokowi menyerahkan keputusan akhir kepada KPU. Menurut dia, KPU memiliki kewenangan sesuai dengan aturan perundang-undangan
"Silakan KPU tindak lanjuti sesuai peraturan perundang-undangan," ucap mantan Rektor UGM itu.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Surat Balasan KPU
KPU menjawab surat Kementerian Sekretaris Negara soal tindak lanjut nama Oesman Sapta Odang (OSO) dalam daftar calon tetap perseorangan DPD RI peserta Pemilu 2019. Dalam suratnya, Ketua KPU Arief Budiman menegaskan putusan PTUN soal OSO tidak bisa diimplementasikan karena menabrak aturan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Bahwa keputusan KPU sejalan, sesuai, dan diperkuat putusan MK nomor 98/PUU-XVI/2018 tanggal 30 Januari 2019. Bahwa munculnya ketidakpastian hukum ketika KPU hendak melaksanakan putusan MK yang telah berkekuatan hukum tetap, terletak pada implementasi putusan MK," tulis surat yang ditandatangani Arief pada 29 Maret 2019.
Menurut KPU, MK dalam putusannya menegaskan, sekali pun putusan MK bersifat deklaratif bukan menandakan kelemahan daya ikat putusan tersebut. Sebaliknya, justru di situlah letak kekuatannya.
Sebab sekali MK telah mendeklarasikan suatu undang-undang, pasal, ayat dan atau bagian dari suatu UU, maka tidaklah ada kekuatan hukum mengikat seolah sebagai undang-undang sah dan membawa konsekuensi bertentangan dengan UUD 1945.
"Dengan demikian, dalam hal suatu lembaga, atau masyarakat tidak menjalankan putusan MK, hal demikian merupakan pembangkangan terhadap konstitusi," tulis isi surat KPU tersebut.
Karena dasar tersebut, terdapat alasan hukum kuat bagi KPU untuk tidak mencantumkan nama OSO dalam daftar calon tetap perseorangan DPD RI peserta Pemilu 2019.
Advertisement
Polemik OSO Vs KPU
Polemik antara PTUN Jakarta dan KPU berawal dari gugatan Ketua Umum Partai Hanura OSO. Dalam putusan itu Majelis hakim PTUN Jakarta mengabulkan perkara sengketa proses pemilu yang diajukan OSO.
Isi putusannya adalah memerintahkan KPU menerbitkan DCT anggota DPD baru yang memasukkan nama OSO. Dalam putusan perkara Nomor 242/G/SPPU/2018/PTUN.JKT, majelis hakim PTUN Jakarta juga membatalkan keputusan KPU Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tentang penetapan DCT Pemilu Anggota DPD Tahun 2019.
Bawaslu pun telah memutus sengketa tersebut. Bawaslu memerintahkan KPU memasukkan OSO dalam DCT anggota DPD Pemilu 2019.
Namun, KPU terus beralasan menjalankan putusan MK yang melarang calon Anggota DPD rangkap jabatan di kepengurusan partai politik. Sehingga tim kuasa hukum OSO melaporkan komisioner KPU ke Polda Metro Jaya.