Liputan6.com, Yogyakarta - Cendekiawan Muslim, Gus Nuril dan staf khusus Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Romo Benny Susetyo memberi tamparan keras kepada peserta obrolan kebangsaan di Jogja Rich Hotel, Jumat (5/4/2019). Dalam acara bertajuk Menyulam Toleransi dalam Berdemokrasi itu keduanya menggambarkan kondisi negara saat ini.
Gus Nuril menyebut kondisi Indonesia saat ini kritis dan sudah tidak agamawi. Sebab, kelompok pro Jokowi terlalu memuja Jokowi sampai lupa memuji Tuhan dan begitu juga kelompok Prabowo sibuk memuji Prabowo sampai lupa memuji Tuhan.
"Bahkan kehilangan kemuliaannya, sehingga lupa demokrasi Pancasila karena tidak ada kemanusiaan yang beradab, kalau cuma jadi kecebong dan kampret tidak perlu memilih presiden," ujar Gus Nuril.
Baca Juga
Advertisement
Ia menilai, bangsa ini masuk ke gerbong yang menghancurkan dirinya sendiri. Contoh, orang beli paket internet untuk memaki orang yang tidak pernah ditemui, bahkan tidak kenal.
"Hanya gara-gara Jokowi pengen sekali lagi jadi presiden dan Prabowo sekali-sekali jadi presiden," ucap Gus Nuril yang disambut gelak tawa hadirin.
Ia menegaskan, demokrasi Pancasila harus ditegakkan karena berpegang pada kemanusiaan yang adil dan beradab serta harus memiliki persatuan Indonesia.
Dan kondisi demokrasi saat ini sudah kebablasan. Fitnah dilontarkan, demikian pula dengan ghibah yang dilakukan karena banyak orang membuka aib.
Menurut Gus Nuril, agama telah dijadikan sampah karena pilpres dan bisa berujung pada kemusyrikan sistematis. Negara juga sudah mengakui sejumlah agama dan kepercayaan, sehingga tidak boleh mengkafir-kafirkan orang lain.
"Kalau ada yang mengkafir-kafirkan, Jokowi harus tegas menyuruh TNI untuk menangkap, kalau tidak, Jokowi ya hanya kebelet jadi presiden," kata Gus Nuril.
Semua orang sibuk mempertahankan agama, tetapi tidak ada yang menjalankan agama. "Bangsa Indonesia keracunan agama paling parah," tutur Gus Nuril.
Pancasila dan Khilafah
Gus Nuril mengatakan NKRI yang didirikan dengan semangat persatuan oleh segenap komponen bangsa dari berbagai suku, adat istiadat, bahasa, etnis, budaya, serta agama dan aliran kepercayaan menghadapi ancaman organisasi-organisasi radikal. Keberadaan organisasi yang menanamkan benih radikalisme telah merusak makna kebangsaan Indonesia.
"Benih-benih radikalisme muncul dari sikap intoleransi pada tiap individu terhadap perbedaan yang ada di sekitarnya," ujarnya.
Ia mencontohkan, saat ini Indonesia mengalami tren penurunan sikap toleransi antarumat beragama. Menguatnya isu identitas, suku, ras, dan agama memungkinkan peningkatan situasi intoleran di Indonesia, terlebih di tahun-tahun politik.
"Lebih dari itu, ada sebuah gerakan yang pernah terjadi di Indonesia pada 2 Desember 2016, yang memicu naiknya intoleransi di Indonesia," ucapnya.
Menurut Gus Nuril, sikap intoleransi di Indonesia masih menjadi tugas yang harus diselesaikan akar persoalannya. Ia juga mempertanyakan, apakah selama ini memang bangsa Indonesia belum bergerak maju dalam menjaga kerukunan antarumat beragama dan antar anak bangsa.
"Apakah kita hanya akan diam dan membiarkan negara Indonesia semakin terpecah dan tak lagi mencerminkan sikap persatuan seperti yang tercantum di dasar negara Pancasila," kata Gus Nuril.
Advertisement
Bagaimana Mengembalikan Pancasila?
Romo Benny menuturkan kondisi yang dihadapi saat ini adalah pragmatisme politik. Pancasila tidak lagi membumi karena tidak dijalankan dengan benar.
Ia menilai Jokowi mewarisi vacuum ideologi. Sebab, pascaOrde Baru, orang cenderung paranoid dengan Pancasila yang dianggap doktrin kekuasaan.
"Tantangan yang kita hadapi saat ini adalah pemahaman ideologi, di negara maju, nasionalisme itu menjadi kekuatan mereka," ujar Romo Benny.
Ia mencontohkan, anak-anak di Amerika Serikat dididik mencium bendera sebagai bentuk cinta tanah air. Mereka tidak menjadi bangsa yang kerdil. Kalah dalam perang Vietnam, mereka menciptakan tokoh Rambo untuk menanamkan pemikiran Amerika Serikat tetap bangsa yang besar.
"Bangsa-bangsa yang bisa maju ketika persoalan ideologi selesai, sehingga bisa teraktualisasi dalam kehidupan bersama," tuturnya.
Romo Benny menceritakan kisah Gus Dur yang ketika itu masih duduk di bangku SD. Suatu malam ayah Gus Dur didatangi Tan Malaka yang memberikan uang untuk urunan ketua partai Masyumi yang belum punya rumah.
Kejadian itu menggambarkan, sekalipun mereka berbeda ideologi tetapi mereka menjalankan politik bermartabat. "Karena ideologi partai mereka tidak pragmatisme," ucapnya.
Ketika ideologi partai berbeda, maka yang dipegang adalah ideologi Pancasila. Secara praktis, ideologi Pancasila dijalankan.
Saksikan video pilihan berikut ini: