Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang menyiapkan aturan sistem electronic book building (EBB) terkait penjatahan penawaran saham perdana.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Hoesen menuturkan, pihaknya melihat investor ritel akan jadi penopang pasar modal. Apalagi ini didukung dari bonus demografi Indonesia. Oleh karena itu, pihaknya menyiapkan sejumlah infrastruktur dan sistem untuk mendukung perkembangan investor ritel di pasar modal.
Salah satunya dengan menyiapkan sistem electronic building. Salah satunya yang dikaji sistem penjatahan penawaran saham perdana untuk investor ritel.
"Jadi 40 persen dijual di ritel. Kalau ada oversubscribe bisa sampai 60 persen. Kalau ritel banyak di primary market. Maka secondary market ramai oleh ritel,” kata Hoesen, saat acara focus group discussion, di Bandung, Sabtu (6/4/2019).
Baca Juga
Advertisement
Hoesen menuturkan, pihaknya menuturkan, dalam aturan penjatahan saham perdana bagi investor ritel itu dapat dilakukan bertahap untuk alokasinya. Dengan ada alokasi saham perdana itu diharapkan juga menciptakan pasar modal lebih aman dan menciptakan keadilan serta keseimbangan.
"Misalkan electronic building 40 persen hingga 60 persen. Tahun pertama bisa 10 persen. Belum tentu ritel bisa serap. Namun, aturan peralihan atau implementasi lakukan bertahap. Market akan tumbuh bersamaan,” ujar dia.
Ia menambahkan, aturan alokasi saham tersebut diharapkan dapat rilis pada kuartal III 2019.
Sebelumnya, Direktur Pengembangan BEI Hasan Fauzi menuturkan, penerapan e-bookbuilding merupakan domain dari OJK. BEI akan berperan sebagai penyelenggara di pasar sekunder melalui penugasan dari OJK.
"Kita ini penyelenggara secondary market. Kemungkinan bursa akan mendapatkan penunjukkan penugasan. Jadi kita itu bursa, khusus yang EBB, konteks primary market nanti bursa akan mengajukan atau mendapatkan penugasan OJK," ucapnya di Gedung BEI, Selasa 8 Januari 2019.
Dia mengakui, penerapan EBB tidak hanya melibatkan bursa namun juga self regulatory lainnya seperti PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan PT Kliring Penjamin Efek Indonesia (KPEI). KPEI berperan untuk memastikan aliran komitmen pemesanan saham di pasar primer, kemudian untuk proses settlement akan dikerjakan oleh KSEI.
OJK Sebut Pertumbuhan Ekonomi Pengaruhi Tingkat Kepercayaan Investor
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Hoesen menyebut jika pertumbuhan ekonomi saat ini mempengaruhi tingkat kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di pasar saham. Dengan tingkat pertumbuhan yang baik, secara otomatis pasar akan mempercayai kondisi dalam negeri.
"Pertumbuhan ekonomi sangat mempengaruhi dari kemampuan investor domestik untuk terus (masuk). Termasuk juga adanya perusahan-perusahaan baru emiten yang akan menjadi emiten di pasar modal," kata Hoesen di Jakarta, Senin 18 Februari 2019.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2018 mencapai 5,17 persen. Angka ini juga menjadi salah satu capaian tertinggi pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 2014.
"Karena kalau analis-analis selalu bilang pertumbuhan pasar pasar modal parameternya dua. Hal pertama pertumbuhan ekonomi makronya dan pertumbuhan nett income dari emiten itu pasti akan bisa tembuh," pungkas dia.
Sebelumnya, Ketua Komisioner OJK, Wimboh Santoso, mengatakan setidaknya ada 5 kebijakan strategis OJK untuk menyokong dan mengakselerasi pertumbuhan industri keuangan di Indonesia. Lima langkah ini dilakukan guna memitigasi risiko keuangan yang diperkirakan terjadi di tahun ini.
"Di tengah volatilitas global dan domestik, kita patut bersyukur karena stabilitas perekonomian kita masih terjaga, inflasi tetap terjaga, begitu juga dengan kinerja perekonomian. Untuk itu kami masih punya PR besar untuk lakukan reformasi struktural di tahun ini," ujarnya di Pertemuan Industri Jasa Keuangan 2019 di Pacific Place
Dia memprediksi, tekanan global di tahun ini tidak akan setajam 2018. Oleh karena itu, menurutnya, investor akan senantiasa optimistis untuk menanamkan modalnya ke dalam negeri.
"Ke depan, memang ada yang harus tetap diperhatikan bahwa keuangan global sepenuhnya belum bisa kembali normal seperti volatilitas suku bunga The Fed. Namun kami perkirakan tekanan global akan tetap mild (moderat) dibanding 2018," ujar dia.
Advertisement