Liputan6.com, Mojokerto “Dulu, air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Mojokerto hanya mampu mengaliri air sebanyak 136 liter per detik. Air PDAM tersebut berasal dari mata air yang berada di Pacet. Kapasitas sumber segitu tidak bisa melayani permintaan pelanggan baru. Bahkan pada tahun 2012, cakupan kami enggak sampai 10 persen.”
Sambil mengobrol di dekat sumber mata air Djubel, Direktur PDAM Kabupaten Mojokerto,Fayakun menggambarkan betapa pentingnya mata air. Hal ini terkait debit mata air, pengelolaan, dan konservasi mata air. Konservasi yang juga melibatkan ketahanan daerah tangkapan air beserta hutan di dalamnya.
Baca Juga
Advertisement
“Sekarang posisi kami secara administrasi sudah bagus. Dalam empat tahun terakhir, kami ada kenaikan 10 persen cakupan pelayanan. Jumlah pelanggan pada tahun 2014 sekitar 17.000 pelanggan, sekarang sudah lebih dari 27.000 pelanggan,” kata dia saat berbincang dengan Health Liputan6.com beberapa waktu lalu.
Seiring waktu ada penambahan debit air. Perbedaan terjadi kalau dulu, sekitar musim kemarau, mata air kering dan habis. Kini, pada musim kemarau panjang, sumber air tidak ada masalah. Walaupun terjadi penurunan debit mata air, ketersediaan air untuk kebutuhan sehari-hari terbilang cukup.
Ketika Health Liputan6.com beserta rombongan menjejak di Djubel, suasana rindang pepohonan menyelimuti kami. Terik matahari yang menemani kami sepanjang perjalanan pupus. Kami menaiki jalan setapak yang berupa tangga ke lokasi sumber mata air. Tak lupa, kami diingatkan agar tidak menempel atau menyentuh dinding bebatuan karena kehadiran ulat-ulat bulu.
“Ada tiga sumber mata air di Pacet. Di sini (Djubel) sumber mata airnya (berlokasi) paling rendah dan mudah dijangkau. Mata air lainnya lagi ada di atas. Harus naik lagi ke atas,” lanjut Fayakun.
Simak video menarik berikut ini:
Kajian kerentanan mata air
Upaya memantau debit mata air dilakukan dengan cara kajian kerentanan mata air. Field Coordinator Kabupaten Mojokerto Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK) Project, Upi Gufiroh menjelaskan, kajian kerentanan mata air berupa identifikasi pada beberapa mata air. Di Mojokerto, ada empat desa yang menjadi lokasi kajian kerentanan mata air, yakni Pacet, Claket, Padusan, dan Kemiri.
“Dari empat desa itu ada 37 mata air yang tersisa, tapi yang berhasil diidentifikasi ada 22 mata air. Misal, soal penurunan debit jelas terlihat di Desa Kemiri. Di sana penurunan debit air sangat signifikan. Ini disinyalir karena kebakaran hutan dan lahan. Akhirnya, debit air menurun. Kalau di wilayah Claket sendiri, beberapa debit air stabil, lainnya ada yang menurun,” papar Upi.
Secara keseluruhan empat desa di atas, ada beberapa sumber mata air yang sudah hilang. Tapi ada juga sumber mata air yang tetap bertahan dari dulu sampai sekarang. Debit air pun terjaga dengan baik. Sumber mata air yang hilang tidak hanya dikarenakan faktor perubahan iklim.
Contohnya di Padusan, satu mata air saja yang masyarakat manfaatkan sudah cukup untuk satu desa. Seiring pertambahan penduduk, mereka mencari dan mengeksplorasi sumber mata air.
“Hasil kajian ini (kerentanan mata air) fokus melihat terjadi, apakah ada penurunan debit atau enggak pada mata air. Tapi karena sejarahnya dari awal enggak pernah menghitung, kami hanya mengandalkan data kualitatif. Data kualitatif berupa kalau dulu (mata air) besar, sekarang lebih kecil debit airnya,” Upi menambahkan.
Tidak ada pencatatan debit mata air karena zaman dulu tidak ada istilah melakukan pengukuran debit. Pengukuran debit baru dilakukan bersama masyarakat. Ada pelibatan masyarakat dengan cara mereka diajak juga menghitung debit air. APIK bersama masyarakat datang ke berbagai mata air yang sudah diidentifikasi keberadaannya untuk mengukur debit air bersama.
Advertisement
Jaga mata air
Keberlimpahan sumber mata air kerap dimanfaatkan truk tangki. Truk-truk tangki hilir mudik mengambil air dari sumber mata air. Yang perlu diperhatikan pengelolaan air agar air tetap terjaga debit.
“Itu sebetulnya tidak masalah (truk tangki mengambil air), airnya berlimpah tapi ya bagaimana mengelola air. Kita hargai agar air tetap ada. Karena air berlimpah, masyarakat jadi kurang menghargai. Misalnya, penjualan air Rp2.000 per tangki rumah. Padahal, satu rumah bisa lebih dari satu KK (Kepala Keluarga). Airnya dipakai sesukanya,” tegas Upi.
Pemanfaatan air yang tidak dikelola baik akan berujung ketika terjadi sesuatu pada jaringan mata air yang rusak, dana tidak cukup untuk memperbaiki. Padahal, itu perlu dipikirkan juga untuk menjaga keberlangsungan mata air. Apalagi kalau pipanya rusak.
“Di Padusan, mata air dipakai masyarakat dan PDAM. Nah, ada perbedaan pengelolaan jaringan mata air antara yang sangat modern dan tradisional. Yang tradisional (dikelola masyarakat) risikonya kualitas air banyak yang kemasukan lumpur dan pipa-pipanya juga ambrol. Ini karena hujan lebat dan banjir bandang juga tanah longsor,” Upi menambahkan.
Upi dan tim pernah mengecek sebuah mata air di Padusan. Saat menuju sumber mata air, ia bertemu dengan beberapa orang desa yang mengambil air dari sumber tersebut. Rupanya mereka usai memperbaiki pipa yang bocor. Mereka juga harus jalan kaki berkilo-kilo meter untuk sampai di sumber mata air.
Alih fungsi lahan
Penyebab sumber mata air berkurang debit termasuk dipengaruhi kerusakan hutan dan bencana. Seperti halnya bencana banjir dan tanah longsor pernah melanda pemandian air panas Pacet, Mojokerto, Jawa Timur pada 11 Desember 2002 silam. Kawasan pemandian air panas yang populer itu berubah mencekam kala suara gemuruh air bah terdengar dari atas bukit. Suara pun diiringi tanah longsor, air banjir, dan batu-batu besar yang terus bergelincir.
Upi menceritakan peristiwa longsor yang disertai lumpur bercampur batu besar menerjang pemandian air panas Pacet. Saat itu lokasi wisata sedang dikunjungi banyak wisatawan. Anak-anak pun asyik berendam dan bermain air. Ketika terjangan longsor, anak-anak tak berdaya menyelamatkan diri.
Yang terdengar hanya jerit minta tolong. Bahkan anak-anak ada yang tergulung derasnya air hingga terseret arus Sungai Mojosari sejauh tujuh kilometer. Sebagian wisatawan lainnya tertimbun tanah di lokasi. Tragedi ini diduga akibat penggundulan hutan pinus di lereng Gunung Welirang, yang tepat berada di atas lokasi pemandian air panas Pacet.
Banyak alih fungsi lahan, di pacet, claket, padusan itu terkenal vila. Banyak dibangun vila, yahng tadinay sawah dibangung vila. Alih fungsilahan ini menambah lkerusakan. Kalau leewa pacer sleain menjamur, tata letak, tata ruang juga salah. Mereka banyak membangun bangunan di wilayah mainstream di sungai, di tengah sungai bahkan bukan di bantaran.
“Ya, tahun 2002 pernah ada kejadian banjir bandang dan tanah longsor yang menewaskan 30 orang di pemandian air panas Pacet. Penyebabnya ada indikator terjadi penggundulan hutan di wilayah catchment area (daerah tangkapan air),” tambah Upi.
Atas tragedi tersebut, Upi dan tim menggali bencana melalui kajian partisipatif dengan masyarakat. Setelah ditelusuri di pemandian air panas Pacet sendiri tidak turun hujan. Pada waktu itu, hujan memang turun deras di lokasi bagian atas wisata tersebut. Penggundulan hutan yang membuat air hujan tidak meresap ke tanah berujung banjir dan tanah longsor.
Selain itu, pencurian rebung di area Taman Hutan Raya (tahura) kerap terjadi. Informasi yang diperoleh APIK, pencurian rebung bisa mencapai 12 ton per hari. Rebung yang dicuri disimpan berbulan-bulan.
“Rebung ditimbun untuk musim-musim yang tidak ada rebung. Biar awet dipakai formalin. Rebung pun dijual sampai ke Semarang. Pencurian rebung ini paling merusak hutan karena rebung itu kan bayi-bayi bambu yang mulai tumbuh. Daya serap air ke tanah bisa berkurang,” tutup Upi.
Advertisement