Publik Minta Pewaris Takhta Perempuan di Kekaisaran Jepang Dipertimbangkan

Suksesi Jepang selama berabad-abad akam tamat apabila Hisahito mati muda atau tidak memiliki anak laki-laki sama sekali.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 08 Apr 2019, 14:03 WIB
Kaisar Jepang Akihito dan Permaisuri Michiko seusai berjalan-jalan di pantai dekat Hayama Imperial Villa, Prefektur Kanagawa, Senin (21/1). Akihito akan menjadi kaisar pertama yang turun takhta dalam 200 tahun terakhir. (Kazuhiro NOGI/AFP)

Liputan6.com, Tokyo - Mundurnya Kaisar Akihito dari kekaisaran Negeri Matahari Terbit menimbulkan sejumlah kekhawatiran dari masyarakat Jepang.

Jelas saja, salah satu keluarga kerajaan tertua di dunia tersebut harus menghadapi ancaman selesainya suksesi laki-laki sebagai pewaris takhta kekaisaran.

Masa depan kekaisaran Jepang terletak pada Hisahito yang masih berusia 12 tahun. Putra dari adik Naruhito (yang akan menjadi kaisar) itu adalah salah satu-satunya generasi termuda dari garis pewaris takhta kekaisaran Jepang.

Suksesi Jepang selama berabad-abad akan tamat apabila Hisahito mati muda atau tidak memiliki anak laki-laki sama sekali.

Hukum Rumah Tangga Kekaisaran ini mengharuskan kaisar selanjutnya adalah laki-laki dan bukan perempuan.

Menanggapi hal ini, banyak publik yang tampaknya mulai bergeser untuk mengimbau kerajaan Jepang agar mengubah undang-undang suksesi, sehingga memungkinkan perempuan menduduki posisi kaisar.

Menurut sebuah jajak pendapat oleh harian Yomiuri Shimbun antara Oktober dan November, hampir dua pertiga menginginkan undang-undang tersebut direvisi agar perempuan bisa menjadi ahli waris yang sah.

"Saya hanya ingin tahu mengapa Putri Aiko tidak dapat naik takhta," Mizuho, ​​seorang warga Tokyo berusia 30-an yang hanya memberikan nama depannya.

"Jika itu hanya karena dia seorang gadis, maka saya pikir itu tidak pada tempatnya di era saat ini," katanya.

"Kenapa kita tidak mengizinkan ahli waris perempuan seperti Ratu Elizabeth di kerajaan Inggris?"

Di bawah aturan saat ini, anggota keluarga kekaisaran perempuan juga kehilangan status kerajaan mereka setelah menikah dengan orang biasa.

Hal ini telah dilakukan oleh salah satu cucu perempuan Akihito, Putri Mako yang menikah dengan pria Jepang biasa.


Reiwa, Nama Resmi Era Baru Jepang Setelah Kaisar Akihito Turun Takhta

Sekretaris Kabinet Jepang, Yoshihide Suga menunjukkan plakat nama era baru Kekaisaran Jepang, Reiwa, di Tokyo, Senin (1/4). Reiwa, menjadi nama era yang baru yang mengganti Era Heisei seiring persiapan pengunduran diri Kaisar Akihito pada 31 April mendatang. (AP/Eugene Hoshiko)

Selepas Kaisar Akihito turun takhta, Kekaisaran Jepang mengumumkan nama "Reiwa" sebagai era baru pemerintahan Putra Mahkota Naruhito, yang segera dilantik pada awal Mei mendatang.

Pengumuman nama era baru tersebut disampaikan oleh pihak Istana Kekaisaran Jepang di Tokyo, pada hari Senin.

Nama itu, dalam penulisan huruf kanji Jepang, bermakna sebagai "harmoni", dan akan resmi digunakan bertepatan dengan penobatan Putra Mahkota Naruhito, demikian sebagaimana dikutip dari CNN.

Putra Mahkota Naruhito akan dilantik sebagai kaisar ke-126 dalam sejarah Kekaisaran Jepang yang telah eksis lebih dari seribu tahun lalu.

Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Yoshihide Suga mengatakan ia berharap nama baru itu, yang diadaptasi dari antologi puisi klasik Abad ke-8, akan diterima secara luas oleh masyarakat dan berakar dalam kehidupan di Negeri Matahari Terbit.


Ditentukan oleh Tim Khusus yang Ditunjuk Istana

Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe berjalan melintasi plakat nama era baru Kekaisaran Jepang, Reiwa, seusai konferensi pers di Tokyo, Senin (1/4). Reiwa menjadi nama era yang baru yang mengganti Era Heisei seiring persiapan pengunduran diri Kaisar Akihito pada 31 April mendatang. (AP/Eugene Hoshiko)

Sementara itu, pemilihan nama era baru bagi Jepang, menurut National Institutes for the Humanities, kemungkinan dipilih oleh tim khusus yang ditunjuk oleh dewan kehormatan istana.

Masing-masing dari mereka diperintahkan untuk mengusulkan nama berdasarkan beberapa pertimbangan budaya.

"Kita tahu bahwa mulai sekitar abad ke-10, nama-nama era baru diputuskan oleh orang-orang berpenedikan yang terpilih secara khusus untuk melayani istana kaisar, dan dikenal dengan julukan monjō hakase," jelas Masaharu Mizukami, profesor di Fakultas Sastra di Chuo University, Jepang.

"Ketika memutuskan nama era baru, masing-masing monjō hakase akan mengirimkan teks berjuluk nengō kanmon, yang berisi usulan nama dari pertimbangan budaya klasik Jepang," lanjutnya.

Informasi tentang bagaimana nama era baru diputuskan, serta diskusi yang melatarbelakanginya, terus dijaga ketat sejak Kaisar Akihito mengumumkan rencana pengunduran diri pada 2017 lalu.

Pekan lalu, pimpinan Kabinet Jepang mengatakan kepada wartawan bahwa nama-nama akademisi dan ahli lainnya, yang berkontribusi terhadap penentuan nama era baru kekaisaran, tidak akan dipublikasikan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya