Aparat Bubarkan Paksa Ribuan Massa yang Desak Presiden Sudan Mundur

Pasukan keamanan di Khartoum, Sudan, bergerak untuk mencoba membubarkan ribuan demonstran yang menyerukan agar Presiden Omar al-Bashir mundur.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 08 Apr 2019, 15:00 WIB
Aksi unjuk rasa disertai kekerasan dilaporkan kian meluas di Sudan (AFP/Ebrahim Ahmad)

Liputan6.com, Khartoum - Pasukan keamanan di ibu kota Sudan, Khartoum, telah bergerak untuk mencoba membubarkan ribuan demonstran yang menyerukan agar Presiden Omar al-Bashir mengundurkan diri.

Gas air mata ditembakkan dari mobil berat petugas keamanan ketika massa menduduki Khartoum untuk dua malam berturut-turut.

Seorang pengunjuk rasa mengatakan kepada BBC, dikutip pada Senin (8/4/2019) bahwa beberapa anggota militer turun tangan untuk mencoba mengusir pasukan keamanan, yang mengindikasikan perpecahan di antara pasukan bersenjata Sudan.

Presiden Bashir sejauh ini menolak tuntutan untuk mundur dan justru menyarankan dibentuknya pemerintahan transisi.

Seorang pengunjuk rasa mengatakan kepada Newsday BBC bahwa sejumlah truk pick-up tiba dan mulai menembakkan gas air mata dan peluru tajam pada ribuan pengunjuk rasa.

Dia mengatakan militer pada awalnya netral tetapi kemudian berusaha mengusir pasukan keamanan.

Tidak jelas siapa pasukan keamanan itu tetapi BBC Africa melaporkan bahwa mereka berasal dari badan intelijen nasional Sudan dan milisi negara.

Saksi mata mengatakan, pasukan keamanan kembali untuk serangan kedua dan orang-orang kemudian berlari menuju fasilitas angkatan laut untuk mencari perlindungan dari penembakan berkepanjangan.

Saksi mata lain melaporkan tentang kerumunan yang memaksa para penyerang melarikan diri.

Ada laporan korban yang belum dikonfirmasi dari tempat kejadian.

Seorang warga dari distrik 5 km jauhnya mengatakan kepada wartawan kantor berita asing, gas air mata terasa hingga rumahnya.

 

Simak video pilihan berikut:


Awal Mula Protes Akhir Pekan

Presiden Sudan Omar Al Bashir ketika melakukan wawancara khusus dengan redaksi Liputan6.com di Jakarta, Senin (7/3/2016). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Protes akhir pekan dimulai pada Jumat 5 April 2019 ketika para pemrotes turun ke zona di luar markas tentara Sudan untuk menyerukan pengunduran diri Presiden Omar al-Bashir.

Itu adalah protes terbesar terhadap presiden sejak kerusuhan dimulai pada bulan Desember dan menandai peringatan 34 tahun kudeta yang menggulingkan rezim mantan Presiden Jaafar Nimeiri.

Para demonstran tampaknya berharap untuk kudeta internal, memohon perintah militer untuk menggulingkan Bashir dan membuka jalan bagi pemerintahan transisi.

Polisi mengatakan hanya satu orang yang tewas dalam protes terakhir - di Omdurman, kota kembar Khartoum - tetapi laporan media sosial menunjukkan setidaknya lima pengunjuk rasa telah tewas.

Sejak kerusuhan dimulai, Human Rights Watch mengatakan kekerasan terkait protes telah menewaskan 51 orang, meskipun para pejabat menyebutkan jumlahnya 32, Agence France-Presse melaporkan.


Melorotnya Ekonomi Sudan Bikin Massa Protes

Kerusuhan kian meluas di Sudan akibat kenaikan harga bahan pokok yang tidak terkendali (AP Photo)

Protes awalnya dipicu oleh kenaikan biaya hidup tetapi demonstran sekarang menyerukan presiden, yang telah berkuasa selama hampir 30 tahun, untuk turun.

Ekonomi Sudan telah lama tegang sejak AS menjatuhkan sanksi lebih dari 20 tahun yang lalu, menuduh Khartoum mensponsori kelompok-kelompok teror.

Pada bulan Desember, pemerintah mengumumkan harga bahan bakar dan roti akan naik. Pada tahun menjelang ini, inflasi telah naik sementara pound Sudan jatuh nilainya dengan cepat.

Pemerintahan Presiden Bashir telah dirusak oleh tuduhan pelanggaran hak asasi manusia. Pada tahun 2009 dan 2010, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) menuduhnya dengan tuduhan genosida, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Surat perintah penangkapannya telah dikeluarkan.

Pada bulan Februari, sepertinya dia mungkin menyerah pada protes dan mundur, tetapi sebaliknya Bashir menyatakan keadaan darurat nasional.

Dia mengatakan para pengunjuk rasa memiliki keluhan yang sah tetapi seharusnya publik menyuarakannya melalui pemilihan umum.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya