Liputan6.com, Jakarta Aturan penghapusan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) kapal pesiar atau yacht ditargetkan rampung pada April 2019.
"Saat ini di Kementerian Keuangan (Kemkeu) sudah disiapkan. Saya harap bulan ini keluar. Sudah lama," kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan di kantornya, Jakarta, Senin (8/4/2019).
Baca Juga
Advertisement
Penghapusan PPnBM kapal yacht bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara melalui devisa di sektor pariwisata.
Dia menjelaskan, hasil evaluasi dari pengenaan PPnBM sebesar 75 persen dari harga kapal yacht menyebabkan kapal yang bersandar di Indonesia sedikit. Sebaliknya, jika dihapuskan, maka penerimaan negara dapat meningkat.
"Dari penghapusan PPnBM kapal yacht bisa dapat sekitar Rp 14 triliun dari sekarang hanya beberapa miliar," ungkap Luhut.
Dengan penghapusan PPnBM, nantinya orang Indonesia yang membeli kapal yacht bisa teregister dan parkir di dalam negeri.
Indonesia, lanjut Luhut, bisa mendapatkan penerimaan negara dari biaya sewa untuk kapal bersandar hingga biaya perawatan kapal.
Reporter: Wilfridus Setu Umbu
Sumber: Merdeka.com
PPnBM Kapal Yacht Dihapus, Indonesia Bakal Raup USD 443 Juta per Tahun
Pemerintah tengah mempersiapkan aturan penghapusan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) kapal Yacht. Ditargetkan aturan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) ini keluar pada kuartal I tahun ini.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan bahwa penerimaan negara akan lebih tinggi jika PPnBM Yacht dihapus. Berdasarkan hitungan Kementerian Pariwisata, penerimaan negara yang dapat diraup dengan penghapusan PPnBM kapal Yacht sebesar USD 443 juta.
"Pariwisata bilang kalau itu dibebaskan kita bisa dapat USD 443 juta per tahun. Nah seperti ini bertahun-tahun kita biarkan," kata dia, saat ditemui, di Kantornya, Kamis (31/1/2019).
Baca Juga
"Dari macam-macam orang yang datang bawa Yacht-nya kemari, maintenance-nya, beli bensin dia, sewa makan. Itu hitungan pariwisata," lanjut Luhut.
Nilai tersebut, lanjut dia, tentu jauh lebih besar dari penerimaan negara yang berasal dari pengenaan PPnBM selama ini. "Yacht itu pembayarannya paling kita terima Rp 8 miliar sampai Rp 9 miliar setahun," ungkapnya.
Karena, itu dia pun meminta semua pihak yang terlibat dalam pembahasan aturan soal Yacht ini agar bekerja lebih intensif. Dengan demikian aturan ini dapat rampung secepatnya.
"Kalau saya mau sih bisa bulan ini udah selesai di kita, bisa ketemu Presiden. karena itu bukan persoalan baru bertahun-tahun itu enggak beres," jelas dia.
"Saya bilang tadi sama mereka, jangan bilang ini cepat-cepat, memang sudah terlambat. Saya bilang tanggal 14 Februari kita mau liat finalisasinya," tandasnya.
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
Tonton Video Menarik Ini:
Advertisement
Menkeu dan Menperin Ajukan Perubahan Skema Pajak Barang Mewah ke DPR
Komisi XI DPR RI memanggil Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto untuk mengadakan rapat yang membahas terkait perubahan skema Pajak Pertambahan nilai Barang Mewah (PPnBM).
Pada kesempatan tersebut Sri Mulyani menyampaikan, usulan rapat ini dilatarbelakangi oleh adanya usulan Menteri Airlangga pada 11 September 2017 lalu mengenai kebijakan fiskal industri untuk mendorong kendaraan rendah karbon.
Menindaki permintaan tersebut, ia mengatakan, Kementerian Keuangan sudah melakukan koordinasi dengan pelaku industri sepanjang 2017-2018.
"Dari beberapa kali pembahasan, Menperin kembali menyampaikan syarat kepada Menkeu tanggal 27 Desember (2018) mengenai usulan harmonisasi PPnBM dan kendaraan bermotor roda empat atau lebih," paparnya di Jakarta, Senin (11/3/2019).
Baca Juga
Dia menyebutkan, sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Penjualan Barang Mewah pasal 8 ayat 3, pengelompokan barang kena pajak penjualan barang mewah baru bisa dilakukan setelah berkonsultasi dengan pihak DPR, dalam hal ini Komisi XI.
"Oleh karenanya, kami sampaikan surat ke DPR untuk konsultasi karena ada perubahan PPnBM untuk kendaraan roda empat," sebut dia.
Sri Mulyani menyatakan, ada beberapa pergantian dalam usulan perubahan ini, yakni terkait perhitungan kapasitas mesin serta daya tampung penumpang pada kendaraan roda empat.
"Untuk usulan perubahan maka dihitung bukan mesin, tapi konsumsi bahan bakar dan karbon dioksida. Usulan perubahan baru juga tidak berdasarkan sistem penggerak, tapi (daya tampung) penumpang, apakah dibawah 10 atau diatas 10 penumpang," tutur dia.