Harga Tiket Pesawat Mahal, Penumpang Domestik Merosot

Manajemen PT Angkasa Pura II menilai ada dua faktor yang sebabkan penurunan jumlah penumpang pesawat.

oleh Athika Rahma diperbarui 08 Apr 2019, 20:30 WIB
Ilustrasi tiket pesawat (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Palangkaraya Harga tiket pesawat yang mahal masih menjadi polemik. Penumpang yang punya alternatif moda lain akan beralih, sementara yang lainnya pasrah membeli tiket mahal agar dapat pergi ke tempat tujuan.

Maskapai pelat merah seperti Garuda Indonesia sudah mencoba menurunkan harga dengan memberikan diskon sebesar 50 persen.

Direktur Utama PT Angkasa Pura II, Muhammad Awaluddin menyatakan, memang ada penurunan jumlah penumpang setelah harga tiket pesawat naik, setidaknya untuk rute-rute domestik yang jarak tempuhnya dekat.

"Untuk rute-rute dekat seperti Jakarta-Jogja itu mengalami penurunan, tapi tergantung kalau lagi libur atau Lebaran mungkin tidak terpengaruh, kalau low season itu cukup menurun," ungkapnya di Palangkaraya, Senin (8/4/2019).

Dirinya tidak menyebutkan pasti berapa persentasenya. Ada dua faktor yang menyebabkan penurunan penumpang, yaitu adanya alternatif moda untuk rute dekat dan kesiapan operasional dari maskapai.

"Contohnya seperti Lion, ada 10 pesawat yang digrounded dan itu pasti berpengaruh," ujar dia.

Sementara, jumlah penumpang internasional masih tetap stabil. Bandara di timur Indonesia juga tidak terlalu terpengaruh. 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


BPKN: Kebijakan Tarif Bawah Pesawat Hambat Persaingan Usaha

Ilustrasi pesawat (iStock)

Sebelumnya, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menilai kebijakan tarif batas bawah dan batas atas untuk maskapai penerbangan telah melanggar hak konsumen seperti yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

"Penetapan tarif batas bawah dan batas atas sangat mencederai dan melanggar hak-hak yang diatur dalam UU 8 Tahun 1999 karena tidak memberi insentif kepada konsumen untuk mendapatkan harga yang bisa mengkonversi menjadi konsumen surplus," kata Koordinator Komisi Advokasi BPKN Rizal. E. Halim seperti dikutip dari Antara, Senin 8 April 2019.

Rizal menjelaskan seharusnya pemerintah menetapkan single tarif atau penetapan tarif batas atas saja. Penetapan tarif batas bawah hanya akan menghambat persaingan usaha dan efisiensi sehingga akan berdampak pada harga tiket pesawat lebih mahal.

Akibatnya, bukan hanya konsumen pengguna pesawat terbang yang akan terimbas, tetapi juga pelaku usaha bidang logistik dan pengiriman barang akan tertekan sehingga daya beli masyarakat bisa melambat seiring dengan mahalnya harga tiket.

Sebaliknya, jika tarif batas bawah dibebaskan akan terjadi kompetisi yang intens namun tetap dalam kendali Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), namun dapat mewujudkan dari produsen surplus menjadi konsumen surplus.

"Yang terjadi kalau ada tarif batas bawah dan batas atas, semua harga akan mendekati ke batas atas, artinya kompetisi yang menghadirkan jasa superior ke konsumen itu sulit dilakukan industri ini," kata Rizal.

Oleh karena itu, BPKN menyarankan pemerintah untuk mengeluarkan peraturan jangka pendek dan jangka panjang agar harga tiket transportasi udara lebih terjangkau dengan tetap mengedepankan aspek keamanan dan keselamatan.

Ia menambahkan bahwa seharusnya pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, dapat melibatkan konsumen, baik yang diwakili melalui BPKN atau pun LSM lainnya terkaiti Kebijakan Tarif Batas Bawah dan Batas Atas (TBBTBA) ini.

Tarif angkutan udara turut memberikan andil terhadap inflasi pada Maret 2019 sebesar 0,03 persen dalam kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan.

 


Tiket Pesawat Masih Mahal, Masyarakat Diminta Bersabar

Ilustrasi pesawat terbang lepas landas dari bandara.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Padjaitan meminta masyarakat bersabar menunggu turunnya tarif tiket pesawat yang saat ini dinilai masih mahal.

Dia menilai sudah ada upaya maskapai untuk menurunkan harga jual tiketnya sehingga lebih terjangkau. 

"Kita lihat dulu. Kita akan lihat setelah Pilpres. Ini kan lagi proses. Masa langsung diomongin sekarang kayak makan. Masih diproses," kata dia, di Kantornya, Jakarta, Senin 8 April 2019.

Mantan Kepala Staf Kepresidenan ini mengakui bahwa avtur dan biaya servis lainnya masih menjadi penyumbang besar dari biaya operasional maskapai.

Meskipun demikian, dia kembali menegaskan jika harga tiket pesawat mesti harus memerhatikan industri lain. Artinya mesti ada persaingan harga yang sehat.

"Kalau low cost fare itu memang harus ada, tapi lihat juga jangan sampai matikan industri pariwisata juga. Jangan sampai hotel-hotel ini ternyata banyak juga kurang penghuninya," tandasnya.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya