Liputan6.com, Jakarta - Bakau selama ini dikenal sebagai tumbuhan penahan abrasi. Tetapi di tangan Cahyadi Adhe, tanaman tersebut diolah untuk industri batik.
Tentu saja, tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai batik bukanlah yang masih sehat dan berguna, melainkan limbah dari mangrove. Ia mengolahnya sebagai pewarna alami batik yang menghasilkan warna cokelat.
Baca Juga
Advertisement
"Ternyata, memanfaatkan limbahnya dari buah mangrove yang busuk pun bisa," kata Adhe saat mengisi Kelas Kreatif di kampus Universitas Diponegoro (Undip) dan Universitas Dian Nuswantoro (Udinus), Semarang, Sabtu, 6 April 2019, dalam keterangan tertulis Udinus kepada Liputan6.com.
Ia menuturkan selama ini, pewarna dari bakau biasanya menggunakan buah-buahan yang tidak lolos sortir pembibitan mangrove yang dipakai. Padahal, buah yang busuk pun bisa dimanfaatkan meski butuh waktu lebih lama.
"Tapi, nilai ekonominya jadi lebih besar," jelasnya.
Bersama warga binaan di Mangkang, Mangunharjo, Semarang, Adhe terus mempromosikan pewarna bakau yang dibuat dalam batik. "Nilainya juga jadi berlipat ya. Untuk batik cap saja, per 2 meter bisa dengan harga Rp 250 ribu sementara batik tulis kisaran harganya bisa capai Rp 500 ribu," katanya.
Eceng Gondok
Tak hanya batik bakau, Kelas Kreatif juga menghadirkan Firman Setyaaji dari Tim Bengok Craft. Bermarkas di wilayah Tuntang, tepatnya di Desa Kesongo, RawaPening, Aji bersama teman-temannya mengolah eceng gondok menjadi berbagai produk kekinian dan disukai milenial.
"Kami bukan dari mahasiswa atau karang taruna tetapi hanya gerakan independen dari pemberdayaan masyarakat di Desa Kesongo," kata Firman.
Inisiatif itu dimulai setelah melihat banyak petani eceng gondok. Setelah itu, timnya mulai mengeksplorasi berbagai kerajinan yang terbaru agar makin dilirik oleh milenial.
"Di desa kami eceng gondok itu disebut Bengok makanya namanya mengambil arti itu," katanya.
Menurut Aji, hingga kini produk Bengok Craft sudah dipasarkan hingga Bali dan Jakarta. Produk favorit dan selalu laris adalah buku sampul eceng gondok, tas dan sandal.
"Saat ini tengah mengupayakan memperbanyak produk aksesori seperti jam tangan. Masih tahap uji coba, semoga bisa segera melengkapi produk olahan Bengok," harapnya.
Advertisement
BUMN Goes To Campus
Kelas Kreatif merupakan bagian dari program BUMN Goes to Campus (BGTC) dan menyasar generasi milenial kreatif di Jawa Tengah yang digelar PT Petrokimia Gresik (PG), anak usaha PT Pupuk Indonesia (Persero).
Manajer Humas PG Muhammad Ihwan menyatakan bahwa BGTC merupakan bentuk BUMN Hadir Untuk Negeri, sekaligus memperingati HUT Kementerian BUMN yang ke-21. Tujuannya untuk mengembangkan potensi anak muda di berbagai daerah.
"Kementerian BUMN melihat besarnya potensi generasi milenial dalam bidang industri kreatif," ujar Ihwan.
Dalam pelaksanannya, lanjut Ihwan, PG menggandeng mahasiswa Program Studi IlmuKomunikasi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Undip dan Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komputer (FIK) Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS) dengan melibatkan total lebih dari 350 anak muda.
Mengusung tema Creative Day : Millenial Start Your Creative Moment, kelas kreatif yang dilaksanakan akhir pekan lalu di Gedung H, Universitas Dian Nuswantoro dibagi menjadi enam kelas. Selain kelas eceng gondok dan kelas mangrove, tersedia pula Kelas Kopi, Kelas Cokelat, Kelas Florist, dan Kelas Public Relations.
Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi, Tyas Catur Pramudi mengungkapkan rasa syukur atas kesempatan yang diberikan oleh PT Petrokimia Gresik untuk bekerjasama mendorong generasi milenial pada umumnya dan mahasiswa ILKOM pada khususnya untuk membekali diri dengan keterampilan.
"Menciptakan kreativitas perlu menjadi perhatian bagi generasi milenial agar siap terjun ke industri kreatif, maka melalui Kelas Kreatif yang digelar ini dan menjadi program BUMN, generasi milenial Jawa Tengah pun siap bersaing baik secara lokal maupun nasional," ujarnya.
Saksikan video pilihan berikut ini: