Menhub Siap Fasilitasi Klaim Keluarga Korban Lion Air JT 610

Sebelumnya, CEO Boeing, Dennis Muilenburg telah menyatakan permintaan maaf pada seluruh keluarga korban jatuhnya pesawat Lion Air JT 610.

oleh Athika Rahma diperbarui 08 Apr 2019, 21:38 WIB
Menteri Perhubungan Budi Karya didampingi Kepala KNKT Soerjanto Tjahjono melihat Black Box atau kotak hitam pesawat Lion Air JT 610 di posko evakuasi JICT 2, Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (1/11). (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Keluarga dan ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 terus menuntut kepastian pembayaran hak ganti rugi dari maskapai.

Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menyatakan siap membantu dan memfasilitasi jika memang tuntutan keluarga korban tak juga dipenuhi.

"Kita fasilitasi, kok, kalau keluarga korban merasa haknya tidak dipenuhi. Sebenarnya kalau sudah diasuransikan, ini sudah jadi ranah maskapai dan perusahaan asuransi, jadi tetap yang tanggung jawab ya korporasi," ungkap Budi di Palangkaraya, Senin (8/4/2019).

Seperti diketahui, sejumlah keluarga dan ahli waris korban kecelakaan tragis pesawat Lion Air JT-610 terus menuntut untuk mendapat kepastian pembayaran hak ganti rugi dari maskapai.

Tuntutan ini terus disuarakan lantaran Lion Air dianggap kerap berdalih lewat berbagai cara untuk menuntaskan tanggung jawabnya.

"Suami saya sudah jadi korban, tapi tanggung jawab maskapai hampir enggak ada. Diulur-ulur dengan berbagai macam alasan," keluh Merdian Agustin, keluarga dari korban Eka Suganda dalam sesi konferensi pers di Jakarta, Senin (8/4/2019).

"Sejujurnya kami bingung, frustasi dan kecewa dengan situasi ini. Anggota keluarga kami sudah jadi korban dengan cara yang mengerikan, tapi tanggungjawab maskapai dan produsennya tidak jelas sampai sekarang," tambahnya.

Adapun dalam Pasal 3 huruf a Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, tertulis bahwa penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara diberikan ganti rugi sebesar Rp 1,25 miliar.

Hak atas ganti rugi ini dipertegas dengan Pasal 23 yang menyatakan besaran kerugian tidak menutup kesempatan bagi ahli waris untuk menuntut ke pengadilan.

Meski peraturan sudah jelas, Merdian mengatakan Lion Air malah mempersulit keadaan dengan memaksa keluarga korban untuk menandatangani Release and Discharge (R&D). Dokumen ini disebutkan mewajibkan keluarga dan ahli waris untuk melepas hak menuntut kepada pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab atas kecelakaan itu.

"Bahkan terakhir, terkait pencairan ganti rugi, kita wajib menandatangani dokumen R&D. Kita dituntut melepas hak menuntut untuk pihak yang bertanggungjawab. Itu menurut saya sangat tidak masuk akal," keluhnya gusar.

Sebelumnya, CEO Boeing, Dennis Muilenburg telah menyatakan permintaan maaf pada seluruh keluarga korban jatuhnya pesawat Lion Air JT 610.

Dennis mengatakan hal ini bisa menjadi momentum percepatan pembayaran ganti rugi, baik pada pihak maskapai maupun pihak produsen.

 


Keluarga Korban Lion Air JT 610 Sulit Dapat Ganti Rugi Rp 1,5 M karena Hal Ini

Merdian Agustin, Istri Almarhum Eka Suganda, Korban Kecelakaan Lion Air JT 610 (Kanan) didampingi Hary Ponto dari Kantor Advokat Kailimang & Ponto saat konferensi pers terkait penyelesaian klaim asuransi bagi korban kecelakaan Lion Air JT 610, Jakarta, Senin (8/4). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sejumlah keluarga dan ahli waris korban kecelakaan tragis pesawat Lion Air JT-610 terus menuntut untuk mendapat kepastian pembayaran hak ganti rugi dari pihak maskapai. Tuntutan ini terus disuarakan lantaran Lion Air dianggap kerap berdalih lewat berbagai cara untuk menuntaskan tanggung jawabnya.

"Suami saya sudah jadi korban, tapi tanggung jawab maskapai hampir enggak ada. Diulur-ulur dengan berbagai macam alasan," keluh Merdian Agustin, keluarga dari korban Eka Suganda dalam sesi konferensi pers di Jakarta, Senin (8/4/2019).

"Sejujurnya kami bingung, frustasi dan kecewa dengan situasi ini. Anggota keluarga kami sudah jadi korban dengan cara yang mengerikan, tapi tanggungjawab maskapai dan produsennya tidak jelas sampai sekarang," tambahnya.

Adapun dalam Pasal 3 huruf a Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, tertulis bahwa penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara diberikan ganti rugi sebesar Rp 1,25 miliar.

Hak atas ganti rugi ini dipertegas dengan Pasal 23 yang menyatakan besaran kerugian tidak menutup kesempatan bagi ahli waris untuk menuntut ke pengadilan.

Meski peraturan sudah jelas, Merdian mengatakan Lion Air malah mempersulit keadaan dengan memaksa keluarga korban untuk menandatangani Release and Discharge (R&D). Dokumen ini disebutkannya mewajibkan keluarga dan ahli waris untuk melepas hak menuntut kepada pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab atas kecelakaan itu.

"Bahkan terakhir, terkait pencairan ganti rugi, kita wajib menandatangani dokumen R&D. Kita dituntut melepas hak menuntut untuk pihak yang bertanggungjawab. Itu menurut saya sangat tidak masuk akal," keluhnya gusar.

 


Permintaan Maaf

Untuk mempertegas tuntutan, ia pun mengutip permintaan maaf dari CEO Boeing Dennis Muilenburg atas kematian 346 orang dalam kecelakaan Boeing 737 MAX 8 di Indonesia dan Ethiopia beberapa waktu lalu. Dari pernyataan itu, Dennis menyampaikan insiden kecelakaan ini bisa jadi momentum percepatan pembayaran ganti rugi, baik dari maskapai maupun pihak produsen.

"Penyataan CEO Boeing adalah bukti bahwa kematian anggota keluarga kami karena buruknya pesawat 737 Max 8 yang digunakan Lion Air. Kami yakin banyak anggota keluarga korban yang sangat butuh biaya untuk melanjutkan hidup. Jika ganti rugi terus disandera,berarti maskapai merampas hak ahii waris korban," tuturnya.

"Sejujurnya, berapapun uang yang dibayar enggak akan bisa menggantikan orang yang kami sayang. Tapi jangankan itu, dapatkan hak kami saja sekarang sangat sulit," dia menandaskan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya