Liputan6.com, Jakarta - Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core), Mohammad Faisal mengatakan, Indonesia perlu mengubah pembangunan industri manufaktur ke depan. Hal ini karena industri manufaktur Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara lain.
Padahal, Indonesia memiliki bahan baku dan modal seperti kayu yang cukup besar. Bahkan Indonesia tercatat sebagai salah satu negara pengekspor kayu terbesar di dunia.
"Pekerjaan ke depan adalah bagaimana membangun industri manufaktur. Membangun industri kita punya banyak modal terutama kayu. Kita adalah salah satu ekportir kayu terbesar di dunia bahkan nomor satu," ujar Faisal di Hongkong Cafe, Jakarta, Selasa (9/4/2019).
Baca Juga
Advertisement
Prestasi mengekspor kayu ini nyatanya tidak membuat Indonesia menjadi negara pengekspor bahan olahan kayu atau furniture terbesar di dunia. Data terakhir menunjukkan, peringkat ekspor furnitur Indonesia turun 5 tingkat ke peringkat 17 di dunia.
"Tapi kalau dibandingkan dengan sebelumnya peringkat pengekspor furniture, kita bukan eksportir furniture nomor satu. Kita bahkan turun rangkingnya menjadi 17 dari sebelumnya 12," ujar Faisal.
Faisal melanjutkan, selama ini kayu Indonesia sebagian besar di ekspor ke China. Hal ini kemudian membuat negara tersebut menjadi negara pengelola kayu terbesar di dunia.
"Kemana kayu kita di ekspor? Itu ke China. China lah yang mengelola kayu menjadi furniture. China bahkan menjadi negara nomor satu pengekspor furniture di dunia. Untuk itu dengan melihat fakta ini, kita perlu membangun industri hilir dalam hal ini kayu," ujar dia.
Reporter: Anggun P.Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Penyebab Industri Kayu Tak Berkembang, Tarif Listrik Salah Satunya
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO), Martias membeberkan beberapa tantangan mengenai sulitnya sektor industri kayu lapis untuk berkembang. Menurutnya, dibubarkannya tata niaga ekspor kayu dan dibukanya keran ekspor kayu bulat menjadi salah satu penyebabnya.
"Dibukanya ekspor kayu bulat ini justru memberi perluang bagi industri sejenis di negara lain, untuk hidup kembali, Kemudian pada 2001 keran ekspor ditutup kembali, tetapi karena sudah terlanjur berkembang menjadi sulit dikendalikan, akibatnya ekspor kayu lapis menurun," kata Martias, dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-VIII APKINDO, di Hotel Four Seasons, Jakarta, Senin 26 November 2018.
Martias mengatakan tingginya biaaya produksi akibat kenaikan harga kayu bulat, Bahan Bakar Minyak (BBM), Tarif Dasar Listrik (TDL) dan Upah Minimum Regional (UMR) serta bahan-bahan pendukung lainnya, juga menjadi penyebab produk kayu lapis Indonesia kehilangan daya saing. Kemudian persoalan lainnya adalah meisn produksi yang kebanyakan sudah tua sehingga tidak efisien untuk digunakan.
Ditambah lagi kata dia, industri kayu lapis harus menambah lebih dari 50 persen ekstra modal kerja akibat harus menanggung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas kayu bulat yang proses restitusinya sulit dan memakan waktu lama hingga mencapai dua tahun.
"PPN kayu bulat seharusnya dihapuskan, karena kayu bulat belum mengalami penambahan nilai. Sebelum adanya kebijakan penghapusan PPN, maka restitusi PPN harus dipercepat selambat-lambatnya tiga bulan," kata dia.
Advertisement
Hutan Tanaman Industri
Di sisi lain, pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) khususnya pada kayu pertukangan belum cukup berkembang. Sebab HTI sendiri tidak mendapat pendanaan pinjaman dari perbankan. Oleh karenanya, dia meminta agar prasyarat dalam meminjamkan kredit pada perbankan, dipermudah.
Sebelumnya, Martias mengakui kondisi industri kayu lapis belum bisa kembali ke masa keemasannya. Sebab pada 2018 saja, ekspor kayu lapis diperkirakan tinggal sekitar tiga juta meter kubik dengan nilai USD 1,9 miliar.
"Jika dibandingkan dengan masa keemasannya maka turun 45 persen dari sisi nilai dan turun 63 persen dari sisi volume," kata Martias.
Martias menyampaikan industri kayu lapis menjadi primadona ekspor non migas pada 1987-1997 dengan kontribusi devisa rata-rata mencapai USD3,4 miliar per tahun dengan volume ekspor rata-rata sebesar 8,4 juta meter kubik per tahun. "Oleh karena itu, melalui Munas VIII APKINDO, dapat dijadikan momentum untuk mengembalikan masa kejayaan industri kayu lapis di Indonesia," pungkasnya.