Justice for Audrey, Psikolog Sarankan Sikap Cuek Korban Perundungan

Anak-anak muda bisa melawan perundungan dengan bersikap cuek ketika menerima perundungan dari teman.

oleh Liputan6dotcom diperbarui 10 Apr 2019, 14:34 WIB
Animasi Justice For Audrey, media seni untuk menuntut keadilan bagi korban bully di Pontianak, Kalimantan Barat. (dok. Instagram @fadelfdil/https://www.instagram.com/p/BwCsFWpAZIM/Dinny Mutiah)

Liputan6.com, Pekanbaru - Anak-anak muda bisa melawan perundungan dengan bersikap cuek ketika menerima perundungan dari teman. Demikian pesan dari psikolog klinis anak di Pekanbaru, Violetta Hasan Noor.

"Kalau kita merasa tersakiti, depresi, maka pelaku bullying akan merasa makin berkuasa dan makin besar perbuatannya. Tapi kalau kita cuek saja, mereka akan merasa kalah karena tidak ada respons dari kita," katanya di Pekanbaru, Rabu (10/4/2019), dilansir Antara.

Masalah perundungan pada anak kembali menjadi sorotan nasional setelah kasus yang menimpa seorang siswi Sekolah Menengah Pertama di Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Peristiwa yang menimpa Audrey, korban penganiayaan belasan murid SMA, menyebar luas di dunia maya dan membuat tagar #justiceforAudrey menjadi topik bahasan utama dalam dua hari terakhir.

Menurut Violetta, kecenderungan anak muda gampang marah dan emosi serta bersikap agresif tidak lepas dari lemahnya peran orangtua dalam menanamkan nilai-nilai luhur sejak dini. Orangtua zaman kini umumnya terlalu sibuk dengan dunia kerja, sehingga kurang meluangkan waktu untuk memperhatikan anak serta mengajarkan nilai-nilai empati, gotong royong dan toleransi.

Violetta menilai dalam kasus perundungan Audrey, pelaku perundungan juga bisa dikategorikan sebagai korban karena dia berperilaku demikian karena orangtua lalai dalam mendidik dan mengawasi mereka.

Dia menekankan bahwa dalam hati kecilnya pelaku perundungan sebenarnya membutuhkan perhatian dan sentuhan kasih sayang karena mungkin mereka tidak mendapatkannya dari orangtua dan orang-orang sekitarnya.

Menurut dia, pelaku perundungan melakukan aksinya karena ingin merasa punya kuasa ketika melihat orang lain terlihat lemah di hadapannya dan mereka melakukan itu untuk mengisi kehampaan dan mengatasi ketidakpuasan yang muncul karena kekurangan kasih sayang.

"Yang dicari dari perilaku bully adalah power (sifat berkuasa), ketika dapat akan lakukan itu terus karena orang lain lemah," katanya.

Violetta menilai banyaknya kasus perundungan di sekolah bukan berarti sumber permasalahan itu berasal dari institusi pendidikan. Pangkal masalahnya, menurut dia, sesungguhnya ada di rumah dan lingkungan tempat anak tinggal, dan sekolah menjadi media penyaluran agresi anak.

"Kasus bullying banyak di sekolah, tapi awal mula bukan di sekolah intinya. Sekolah hanya jadi media penyaluran karena itu tempat anak bersosialisasi lebih luas," ujarnya.

 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya