Perenungan Justice for Audrey dan Ancaman Media Sosial

Masalah perisakan terhadap anak kembali menjadi sorotan nasional setelah kasus yang menimpa Audrey, seorang siswi Sekolah Menengah Pertama di Kota Pontianak, Kalbar.

oleh Liputan6dotcom diperbarui 10 Apr 2019, 15:11 WIB
Justice for Audrey (Foto: Twitter)

Liputan6.com, Jakarta - Akademisi dari Universitas Jenderal Soedirman, Edi Santoso, mengatakan terpaan media sosial bisa memengaruhi sikap atau perilaku sosial seseorang, termasuk perilaku bullying.

"Memang, dari berbagai studi, ada kaitan erat antara budaya dan media pada era modern ini, termasuk juga media sosial," katanya di Purwokerto, Rabu (10/4/2019), dilansir Antara.

Edi Santoso yang merupakan dosen Magister Ilmu Komunikasi Universitas Jenderal Soedirman tersebut mengatakan pada era riset komunikasi massa, ditemukan fakta kaitan antara terpaan media dan sikap atau perilaku sosial.

"Kalau kita bicara generasi milenial, media yang lekat dengan kehidupan mereka adalah media sosial. Ada peningkatan tindak kekerasan ini di kalangan milenial. Seperti tawuran, siswa lawan guru, bullying, dan lain sebagainya," katanya.

Masalah perisakan pada anak kembali menjadi sorotan nasional setelah kasus yang menimpa seorang siswi Sekolah Menengah Pertama di Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Peristiwa yang menimpa Audrey, korban penganiayaan belasan murid SMA, menyebar luas di dunia maya dan membuat tagar #justiceforAudrey menjadi topik bahasan utama dalam dua hari terakhir.

Dari perspektif psikologi, kata dia, anak-anak usia SMA merupakan transisi menuju fase dewasa, di mana rujukan perilaku mereka adalah teman atau "peer group" dan bukan lagi orangtua.

"Beragam aksi bullying sangat mungkin menginspirasi atau memunculkan efek imitasi atau peniruan bagi yang lain," katanya.

Kendati demikian, kata dia, ada yang lebih mendasar jika berbicara mengenai media sosial.

"Bukan semata efek imitasi, tapi medsos itu sendiri telah membentuk habitus tersendiri. Teknologi digital misalnya, dianggap telah menciptakan mental atau cara berpikir zig-zag, nonlinier," katanya.

Dia menambahkan, dalam perilaku, mental seperti itu terekspresi dalam keberanian bertindak, dan memikirkan risiko belakangan.

"Digitalisasi juga memunculkan mental serba instan, 'tergesa-gesa'. Itu terekspresikan dalam kecenderungan sikap reaktif, terburu-buru, impulsif," katanya.

Selain itu, kata dia, interaksi secara virtual juga berpotensi mereduksi nilai-nilai sosial.

"Budaya guyub, hangat, tergantikan oleh praktik interaksi yang miskin emosi. Nilai-nilai empati tergerus oleh ilusi eksistensi. Di situlah, kita melihat kasus Audrey terjadi, konflik terbangun dalam interaksi melalui medsos. Sementara kita tahu, banyak pesan yang tereduksi dalam komunikasi via medsos. Aspek-aspek nonverbal, makin menghilang, meskipun ada emoticon," katanya.

Dengan demikian, potensi orang menjadi salah paham lebih besar, ketika aspek nonverbal tidak hadir.

"Misalkan, orang bercanda bisa dianggap serius atau sebaliknya," katanya.

Di juga mengatakan bahwa aksi perundungan hanya salah satu ekspresi perilaku agresi.

"Dan kecenderungan agresi bisa dipicu oleh banyak hal, termasuk juga oleh game online yang banyak berisi konten kekerasan. Intinya, sangat mungkin perilaku seperti itu dipengaruhi oleh media yang mereka pakai sehari-hari," katanya.

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya