Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong fintech penyedia platform Peer to Peer (P2P) Lending untuk mendaftar diri dan diuji oleh OJK.
Hal ini dilakukan dalam rangka pengawasan. Saat ini sudah ada 99 fintech yang terdaftar di OJK.
CEO dan Founder Amartha, Andi Taufan Garuda Putra mengakui, tidak mudah memperoleh izin dari OJK. Amartha, kata dia, sudah mendaftar sejak 2017. Saat ini menjalani tahap perizinan.
"Yang sekarang sudah dibangun lumayan berat tapi butuh effort untuk bangun infrastruktur yang kuat, yang secure. Kita untuk memenuhi itu butuh waktu 1 tahun," kata dia, ketika ditemui, Jakarta, Rabu (10/4/2019).
Baca Juga
Advertisement
Meskipun demikian, dia mengatakan standar tinggi yang diterapkan OJK memang diperlukan untuk memastikan satu fintech benar-benar sehat dan aman untuk dimanfaatkan jasanya oleh masyarakat.
"Perlu untuk jaga konsumen, agar perusahaan membangun bisnis secara prudent," ujar dia.
"Menurut kita OJK perlu buat standar supaya industri tumbuh secara sehat. Bukan hanya tumbuh tapi NPL naik atau tumbuh tapi konsumen banyak yang complain soal pengelolaan dananya," lanjut Taufan.
Dia pun membeberkan, sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh satu provider P2P lending untuk mendapatkan izin dari OJK. Salah satunya harus mengantongi sertifikat ISO 27001 terkait keamanan informasi.
"Kita memang diawasi secara ketat untuk mendapatkan izin. Menurut saya, karena lembaga keuangan, ada dana publik di situ. Mereka (OJK) bangun standar mendekati bank. Meskipun tidak se-rigid bank," urai dia.
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Total Dana yang Disalurkan
OJK juga menekankan pentingnya kerja sama dengan digital signature maupun kerja sama dengan asuransi. Hal tersebut untuk memastikan perlindungan konsumen dan untuk lender bisa terproteksi.
"Kita juga harus penuhi Good Corporate Governance (GCG), sampai anti-money laundrying. Kita harus punya bagaimana men-screening dana-dana teroris," ujar dia.
"Kita juga harus membangun, misalnya kalau sampai amit-amit perusahaan bangkrut, bagaimana dana konsumen bisa balik itu yang harus kita bangun sistemnya," imbuhnya.
Total dana yang telah disalurkan Amartha pada 2018 sekitar Rp 700 miliar, meningkat lebih dari 200 persen dari 2017 sebesar Rp 200 miliar.
Sejak 2010, fintech ini telah menyalurkan Rp 951 miliar dari 60,000 lebih investor dan kini telah memiliki mitra yang tersebar di 3.500 desa seluruh pulau Jawa.
"Kita juga ada rencana untuk mulai di luar Pulau Jawa. Kita juga mau launching aplikasi IOS," ujar dia.
Advertisement
Dongkrak Pendapatan UKM dan Serap Tenaga Kerja
Sebelumnya, CEO dan Founder Amartha, Andi Taufan Garuda Putra mengungkapkan, kehadiran financial technology atau teknologi keuangan memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi mitra alias masyarakat yang meminjam dana.
Menurut dia, berdasarkan survei yang dilaksanakan oleh internal Amartha, pemasukan para mitra naik signifikan setelah meminjam dari Amartha. Mitra Amartha, kata dia, adalah para perempuan pengusaha mikro dan kecil. Sehingga pinjaman digunakan sebagai modal usaha.
"Dari hasil survei yang kita lakukan. Income para peminjam kita memang meningkat setelah mengakses pinjaman dari kita. Awalnya pendapatan Rp 4,5 juta, setelah itu Rp 6 juta. Naik sekitar 40 persen," kata dia, di Jakarta, Rabu 10 April 2019.
Persentase pembayaran pinjaman tepat waktu (on time repayment) di Amartha pun sangat tinggi, mencapai 97,5 persen per akhir Maret 2019. Hingga saat ini, rasio kredit macet alias NPL berada di kisaran 1 persen.
Tak hanya itu, kehadiran Amartha juga membuka lapangan kerja bagi masyarakat tempatnya beroperasi. Hingga saat ini sudah 885 agen yang direkrut untuk menjadi agen lapangan Amartha. Sebagian besar agen lapangan adalah perempuan.
"Kita juga pakai tenaga untuk agen itu dari orang setempat. Biasanya yang tamat SMA. Kalau yang perguruan tinggi, dari perguruan tinggi setempat juga. Mereka bisa dapat fix income itu rata-rata UMR. Juga ada uang makan, transpor, dan insentif," jelas dia.
Dia pun menegaskan bahwa Amartha akan terus berfokus pada penyaluran pinjaman produktif. Selain dapat membantu pengembangan usaha masyarakat, risiko kredit macet pun dapat ditekan. Saat ini jumlah mitra Amartha mencapai 207.000 orang yang tersebar di 3.500 desa.
"Pinjaman konsumtif bukan bisnis model yang kita jalankan di Amartha. Mereka (Peminjam Amartha) ada bisnis yang berjalan untuk bayar angsuran. Kita juga mendampingi mereka. Kita bentuk komunitas. Kalau bisnis lagi kurang bagus, komunitas akan bantu," tandasnya.
Cara Unik Tagih Angsuran
Sebelumnya, Perusahaan financial technology (fintech), khususnya fintech Peer-to-Peer (P2P) lending terus mengalami perkembangan.
Namun, di tengah perkembangan pesat tersebut, terdapat sejumlah catatan negatif. Salah satunya terkait cara penagihan utang yang dinilai kasar.
PT Amartha Mikro Fintek (Amartha), salah satu pionir layanan fintech Peer-to-Peer (P2P) lending di Indonesia menyatakan, pihaknya menjalankan langkah yang lebih humanis, dalam menagih.
Vice President of Growth Amartha, Fadilla Tourisqua Zain mengatakan sejak semula, Amartha memasukkan pada peminjam dalam kelompok yang terdiri dari 15-20 orang.
"Syarat kalau dia mau pinjam dari Amartha harus perempuan. Mereka harus buat kelompok 15- 20," kata dia, di Jakarta, Rabu 10 April 2019.
Melalui kelompok tersebut, berbagai hal dilakukan. Mulai dari akses pinjaman, edukasi, hingga penagihan angsuran. Yang menarik dari sistem penagihan di Amartha adalah anggota kelompok juga ikut bertanggung jawab terhadap pinjaman anggota. Ini sudah disetujui oleh semua anggota kelompok.
"Diberitahukan kalau hari Sabtu ada yang belum bisa bayar dibantu ya. Angsuran mereka disampaikan seminggu sekali. Ada yang namanya tanggung renteng. Kalau yang satu belum bisa bayar 14 lain patungan," jelas dia.
"Nanti cara yang satu itu ganti bagaimana. Bisa dengan uang, bisa juga dengan cara ngirim nasi uduk ke 14 orang itu satu porsi bisa Rp 7.000, Rp 10.000 ke sana. Jadi ada kearifan lokal," imbuhnya.
Tak hanya itu. Kelompok juga menjadi sarana untuk edukasi. Pihaknya kerap memberikan edukasi maupun pelatihan kepada peminjam, yang semuanya memang terdiri dari perempuan pengusaha mikro dan kecil.
"Kita beri tahu kalau dagang ketoprak sehari dapat Rp 100 ribu sisihkan Rp 20 ribu untuk cicilan 30 untuk bayar utang lain, Rp 50 ribu buat keperluan lain. Sederhana tapi kita yakin ini bisa membangun habit dan kedisiplinan peminjam," tandasnya.
Advertisement