Liputan6.com, Jakarta - International Monetary Fund (IMF) atau Dana Moneter Internasional kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,3 persen pada 2019.
Pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi global itu disebabkan oleh ketegangan perang dagang dan kebijakan moneter yang semakin ketat oleh the Federal Reserve atau bank sentral Amerika Serikat (AS).
Ekonom UI, Fithra Faisal menuturkan, pemangkasan pertumbuhan ekonomi global oleh IMF akan berdampak besar ke Indonesia.
Baca Juga
Advertisement
Itu salah satunya di sektor investasi dalam negeri. Dia menuturkan, saat dihadapkan pada ketidakpastian global, investor asing akan cenderung berinvestasi pada aset investasi dengan risiko rendah (safe haven). Hal itu dinilai tidak di Indonesia.
"Investor asing akan lari ke safe haven bukan di emerging marketing tapi ke develop market seperti Jepang, Eropa, atau bahkan di Amerika Serikat (AS) sendiri," tutur dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Kamis (11/4/2019).
Dia mengungkapkan, meski diliputi ketidakpastian, instrumen keuangan jangka panjang AS tetap lebih dipilih oleh investor asing.
"AS meski krisis, mereka punya instrumen keuangan yang cukup deep, berjangka panjang dapat obligasi berjangka 10 tahun meningkat. Inverted yield curve," ujar dia.
Senada, Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede menyebutkan, pasca pemangkasan proyeksi ekonomi global oleh IMF, investor asing akan cenderung mengurangi porsi berinvestasi di pasar domestik.
"Kekhawatiran ekonomi global akan mempengaruhi sentimen di pasar keuangan karena investor global akan cenderung memobilisasi dana-dananya pada safe haven aset dan mengurangi posisi investasinya pada negara-negara berkembang yang identik dengan aset yang lebih berisiko," ucap dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Picu AS Menuju Resesi Imbas IMF Pangkas Proyeksi Ekonomi Global
Sebelumnya, International Monetary Fund (IMF) kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini dari semula 3,5 persen menjadi 3,3 persen.
Pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi global itu menurut IMF disebabkan oleh ketegangan perang dagang dan kebijakan moneter yang semakin ketat oleh Federal Reserve.
Ekonom Centre of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menjelaskan, ketegangan perang dagang memang sudah diperkirakan berdampak negatif tak hanya bagi China dan Amerika Serikat (AS), tapi juga bagi perekonomian global.
Kata dia, panasnya perang dagang bahkan berpeluang membawa Amerika Serikat (AS) ke dalam resesi.
"Koreksi yang terus dilakukan oleh IMF dari 3,9 persen menjadi 3,7, kemudian 3,5, hingga menjadi 3,3 persen tidak bisa dilepaskan dari dampak perang dagang. Spekulasi terjadinya resesi di Amerika saya kira juga tidak lepas dari akibat perang dagang," tuturnya kepada Liputan6.com, Rabu, 10 April 2019.
Dia menuturkan, perang dagang juga kini terbukti meningkatkan risiko berinvestasi di bursa saham AS dalam jangka pendek.
"Kalau perang dagang masih terus berlanjut di mana Trump kukuh dengan kebijakannya maka ekonomi Amerika bisa jadi mengalami resesi," ucapnya.
"Inverted yield yang saat ini terjadi di AS juga menunjukkan peningkatan risiko jangka pendek. Menurut saya ini cerminan bagaimana pelaku ekonomi di AS melihat prospek ekonomi AS di tengah perang dagang," tambah dia.
Advertisement
IMF Kembali Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Dunia pada 2019
Sebelumnya, International Monetary Fund (IMF) kembali memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global pada 2019.
Peningkatan ketegangan perdagangan dan kebijakan pengetatan moneter yang dijalankan oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS) menjadi landasan pemangkasan tersebut.
Mengutip CNBC, Rabu 10 April 2019, IMF mengatakan bahwa mereka mengharapkan ekonomi dunia tumbuh di angka 3,3 peren pada 2019. Angka tersebut turun dari perkiraan sebelumnya yang ada di angka 3,5 persen.
Sedangkan untuk 2020, IMF cukup optimistis dengan memperkirakan ekonomi dunia akan tumbuh di angka 3,6 persen.
Laporan dari IMF ini keluar ketika kongres AS berjuang untuk meloloskan Perjanjian Amerika Serikat-Meksiko-Kanada (USMCA) yang merupakan perjanjian perdagangan yang ditandatangani oleh Presiden AS Donald Trump denga mitra Meksiko dan Kanada. Perjanjian ini menggantikan perjanjian sebelumnya yaitu North Atlantic Free Trade Agreement (NAFTA).
Sementara itu, saat ini pemerintahan Presiden Trump juga masih terus berjuang untuk menuntaskan kesepakatan perdagangan dengan China.
"Neraca risiko condong untuk mengarah ke penurunan," tulis laporan IMF.
Kegagalan menyelesaikan perbedaan yang mengakibatkan hambatan tarif yang menyebabkan biaya yang lebih tinggi dari barang setengah jari dan barang jadi. Hal tersebut membuat harga barang menjadi lebih tinggi bagi konsumen.
USMCA ditandatangani pada 30 November, tetapi sampai saat ini belum mendapat persetujuan dari kongres AS.
Kesepakatan ini harus melalui DPR yang dikuasai Demokrat dan dikritik oleh Senator Republik Chuck Grassley.
Jika kesepakatan antara ketiga negara ini gagal, permasalahan ekonomi AS akan sangat besar. Kanada dan Meksiko adalah dua dari tiga mitra dagang AS terbesar dan merupakan 30 persen berkontribusi kepada perdagangan global AS di 2018.
AS juga berusaha untuk mencapai kesepakatan dengan China, mitra dagang terbesarnya. China sendiri menyumbang hampir 16 persen dari perdagangan global AS tahun lalu.