Tak Hanya Murah, Kenali Lebih Jauh Industri Fast Fashion

Konsep industri Fast Fashion saat ini sangat mendominasi industri pakaian ready-to-wear. Kenali industri ini terlebih dahulu sebelum kamu membelinya.

oleh Liputan6dotcom diperbarui 21 Apr 2019, 10:01 WIB
©Bata

Liputan6.com, Jakarta - Fast Fashion dapat didefinisikan sebagai pakaian murah dan trendi yang mengambil ide mode dari peragaan busana terkenal atau gaya dari para selebriti. Kemudian diubah menjadi pakaian yang dijual di toko retail dengan alur produksi dan jangka waktu yang cepat.

Produk Fast Fashion biasanya dijual oleh peretail dalam skala besar dan selalu mengikuti perkembangan tren yang ada. Semakin produk ini dikenal, tentunya ada semakin banyak pula pertanyaan terkait dengan produk Fast Fashion.

Seperti sejarah produk, ciri produk, dampak yang ditimbulkan oleh produk, serta pertanyaan lain yang mungkin cukup mengganggu. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, simak penjelasannya di bawah ini.


Sejarah Fast Fashion

Untuk mengetahui sejarah Fast Fashion, kita perlu melakukan sedikit kilas balik ke tahun 1800-an, saat alur mode berjalan dengan lambat.

Pada saat itu, jika ingin membuat satu buah pakaian maka kamu harus mencari sendiri bahan-bahan yang akan digunakan. Seperti wol atau kulit. Kemudian kamu harus menyiapkan dan menenunnya sendiri hingga menjadi sebuah pakaian siap pakai.

Namun, masa revolusi industri memperkenalkan teknologi baru berupa mesin jahit. Setelahnya, produksi pakaian pun menjadi lebih mudah, lebih cepat, dan lebih murah. Toko-toko pakaian mulai bermunculan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kelas menengah.

Banyak dari toko pakaian ini menggunakan tim pekerja garmen atau pekerja rumahan. Saat waktu inilah bengkel-bengkel kerja mulai bermunculan, bersamaan dengan beberapa masalah keselamatan yang kian dikenal.

Bencana besar pertama yang dialami oleh pabrik garmen adalah ketika kebakaran Triangle Shirtwaist Factory di New York terjadi pada tahun 1911. Peristiwa tersebut dilaporkan menelan korban hingga 146 orang dan kebanyakan di antaranya adalah imigran muda perempuan.

Pada tahun 1960-an dan 1970-an, kaum muda menciptakan tren baru sehingga pakaian berubah menjadi salah satu bentuk ekspresi pribadi, tetapi masih ada perbedaan antara fashion tinggi dan high street.

Pada akhir tahun 1990-an dan 2000-an fashion dengan harga murah mencapai puncaknya. Portal belanja online mulai berjalan dengan cepat. Peretail produk Fast Fashion seperti H&M, Zara, dan Topshop mulai mengambil alih.

Merek-merek ini mengambil inspirasi desain dan tampilan gaya dari rumah mode papan atas dan mereproduksinya secara cepat dan dengan harga yang murah. Jika sekarang semua orang dapat berbelanja pakaian sesuai tren kapan pun mereka mau, maka lebih mudah untuk memahami bagaimana fenomena Fast Fashion dapat terjadi.


Cara Mengenali Produk Fast Fashion

Berikut adalah beberapa faktor umum bagi merek dari produk Fast Fashion.

  • Terdapat ribuan model gaya yang mengikuti perkembangan tren terbaru.
  • Memiliki waktu putaran yang singkat, saat produk pertama kali terlihat pada pameran busana atau kalangan selebriti, hingga ada di jajaran rak toko.
  • Manufaktur offshore, di mana pekerja mendapatkan upah termurah. Tentu saja penggunaan pekerja dengan upah rendah tersebut tidak disertai pula dengan hak atau keamanan yang memadai. Apabila dibandingkan dengan manufaktur kelas atas atau subkontrak, rantai pasokan offshore memiliki sistem yang lebih rumit dengan visibilitas yang buruk.
  • Terbatasnya kuantitas pakaian tertentu, ini adalah ide yang dipelopori oleh Zara. Stok baru yang datang setiap beberapa hari sekali, secara otomatis membuat pembeli sadar. Apabila mereka tidak membelinya sekarang, maka mungkin saja mereka akan kehilangan kesempatan tersebut selamanya.
  • Bahan yang murah dan berkualitas rendah. Bahan tersebut akan membuat kualitas pakaian juga ikut menurun, bahkan hanya dengan pemakaian beberapa kali saja. Setelahnya, mungkin saja pakaian tersebut akan lebih cepat dibuang.

Dampak dari Fast Fashion

Dampak yang ditimbulkan dari industri Fast Fashion sangatlah besar. Tekanan untuk mengurangi biaya dan mempercepat waktu produksi, memiliki arti bahwa lingkungan produksi juga pasti menyempit.

Dampak negatif dari Fast Fashion, termasuk di dalamnya penggunaan pewarna tekstil yang murah dan berbahaya. Penggunaan pewarna yang berbahaya tersebut, membuat industri mode menjadi industri pencemar air bersih terbesar kedua secara global setelah industri pertanian.

Tekstil yang murah juga meningkatkan dampak yang ditimbulkan oleh Fast Fashion. Poliester adalah salah satu jenis kain paling populer yang berasal dari bahan bakar fosil. Kain tersebut memiliki kontribusi terhadap pemanasan global dan dapat melepaskan serat mikro yang menambah tingkat plastik di lautan ketika dicuci.

Namun tak hanya bahan poliester, "bahan alami" pun dapat menjadi masalah pada skala tuntutan Fast Fashion. Bahan katun membutuhkan air dan pestisida dalam jumlah yang banyak, khususnya pada negara-negara berkembang.

Hal ini meningkatkan risiko kekeringan, menciptakan tekanan besar pada sumber air, masalah pada kualitas tanah, serta berbagai masalah lingkungan lainnya.

Persaingan dalam lingkup sumber daya antara perusahaan dan komunitas lokal juga menjadi salah satu masalah tersendiri. Kecepatan permintaan yang konstan berarti bahwa ada tekanan lain yang meningkat pada masalah lingkungan. Contohnya pembukaan lahan, keanekaragaman hayati, serta kualitas tanah yang menurun hingga memiliki risiko kekeringan.

Selain itu, pengolahan bahan kulit juga memiliki dampak bagi lingkungan. Itu karena, ada 300kg bahan kimia yang digunakan untuk setiap 900kg penyamakan kulit binatang.

Sejalan dengan cepatnya proses produksi pakaian, juga berarti bahwa ada semakin banyak pakaian yang telah dibuang oleh konsumen. Selain adanya biaya lingkungan yang ditimbulkan oleh Fast Fashion, ada juga biaya manusia.

Fast Fashion memiliki dampak kepada para pekerja garmen yang diketahui bekerja di lingkungan yang berbahaya dengan upah yang rendah dan tanpa ada kebijakan hak asasi manusia.

Jika dilihat lebih jauh ke bawah, ada pula petani yang mungkin bekerja dengan bahan kimia beracun. Tentu saja hal tersebut memiliki dampak yang buruk pada kesehatan fisik dan mental mereka, sebuah permasalahan yang disorot oleh film dokumenter "The True Cost".

Namun, tak hanya manusia dan lingkungan, hewan juga terkena dampak dari adanya Fast Fashion. Selain pewarna berbahaya yang dibuang pada saluran air, serat mikro yang terdapat di dalamnya juga dapat dicerna oleh kehidupan laut.

Ketika produk hewani seperti kulit dan bulu digunakan, kesejahteraan hewan juga turut berisiko. Sebuah skandal yang terungkap belakangan ini, menyatakan bahwa bulu asli, termasuk bulu kucing, sebenarnya telah ditukar dengan bulu palsu dan dijual kepada pembeli misterius di Inggris.

Namun kebenarannya adalah, ada begitu banyak bulu asli di peternakan yang diproduksi dengan kondisi yang mengerikan. Kondisi tersebut membuat bahan baku bulu menjadi lebih murah untuk dibeli dan diproduksi apabila dibandingkan dengan bulu palsu.

Pada akhirnya, produk Fast Fashion dapat memengaruhi konsumen itu sendiri. Mendorong budaya "mudah membuang pakaian" sebagai akibat dari kualitas produk yang rendah dan kecepatan produksi mode tren terbaru.

Fast Fashion secara tidak langsung membuat kita percaya bahwa kita harus berbelanja dengan lebih sering dan lebih banyak lagi agar tetap bisa mengikuti arus tren yang ada. Hal itu pun akan menimbulkan sikap kebutuhan sekaligus ketidakpuasan secara konstan dan bergantian.

Tren ini juga menuai kritik atas alasan hak kekayaan intelektual. Para desainer juga menyatakan bahwa desain mereka secara ilegal diproduksi ulang oleh para peretail.


Pemain Besar dalam Industri Fast Fashion

H&M membuka gerai terbarunya yang bertempat di Plaza Indonesia, penasaran seperti apa? Simak di sini. Sumber foto: PR.

Banyak peretail yang kita kenal sekarang, berperan sebagai pemain besar dalam industri Fast Fashion. Seperti Zara atau H&M yang memulai toko kecil mereka di Eropa sekitar tahun 1950-an.

H&M merupakan peretail Fast Fashion tertua, yang awalnya dikenal sebagai Hennes di Swedia pada tahun 1947. Mereka kemudian berkembang ke London pada tahun 1976 dan akhirnya mencapai Amerika sekitar tahun 2000-an.

Tak lama kemudian, Zara juga akhirnya mulai mengikuti. Toko pertamanya dibuka di Spanyol Utara pada tahun 1975. Ketika Zara pertama kali muncul di New York pada awal 1990-an, saat itulah pertama kalinya orang-orang mendengar istilah "Fast Fashion".

Istilah tersebut diciptakan oleh New York Times untuk menggambarkan misi Zara yang hanya membutuhkan waktu 15 hari untuk para pekerja garmen beralih dari tahap desain hingga tahap penjualan di toko.

Beberapa nama besar lain yang ada di industri Fast Fashion sekarang ini adalah UNIQLO, GAP, Primark, dan TopShop.

Namun, meskipun merek-merek ini pernah dianggap sebagai pengganggu karena harganya yang sangat murah, sekarang bahkan ada alternatif yang lebih murah dan cepat. Contohnya Missguided, Forever21, Zaful, BooHoo dan yang terbaru, Fashion Nova.


Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Beli dalam jumlah yang lebih sedikit adalah hal pertama yang harus dilakukan. Dengan menerapkan cara ini, kamu bisa kembali menyukai dan menghargai pakaian yang telah kamu miliki.

Kamu juga bisa lebih memprioritaskan kualitas daripada tren Fast Fashion. Langkah kedua yang harus dilakukan adalah memilih dengan bijak.

Memilih kain ramah lingkungan adalah cara yang cukup rumit, apalagi dengan adanya pro dan kontra untuk semua jenis serat. Namun, kamu bisa memilih beberapa alternatif bahan berikut, seperti denim, linen, katun, dan sebagainya.

Terakhir, kita harus menjaga pakaian agar tetap bagus dan terus memakainya hingga pakaian tersebut usang dan akhirnya layak untuk dibuang. Kita pasti memiliki banyak cara untuk mengakali dan membuat agar pakaian dapat bertahan dengan lebih lama.

 

Reporter:

Rahma Wulan Mei Anjaeni

Universitas Pendidikan Indonesia

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya