Profesor Jepang Sebut Kebakaran Gambut Picu Kematian Dini 100 Ribu Warga

Kebakaran gambut setiap tahunnya di Riau dan sempat memicu bencana asap terparah pada tahun 2015 silam jadi perhatian dunia

oleh M Syukur diperbarui 11 Apr 2019, 20:00 WIB
Kebakaran gambut yang terjadi di Kota Pekanbaru akhir Maret 2019 lalu. (Liputan6.com/M Syukur)

Liputan6.com, Pekanbaru- Kebakaran gambut setiap tahunnya di Riau dan sempat memicu bencana asap terparah pada tahun 2015 silam jadi perhatian dunia. Pasalnya pada tahun itu, gambut di Indonesia, termasuk di Riau, melepaskan lebih dari 800 juta metrik ton CO2 ke udara.

Hal ini membuat kadar oksigen menipis sehingga beberapa warga Riau pada tahun 2015 meninggal dunia akibat asap dari kebakaran gambut. Keadaan ini juga dilaporkan memicu kematian dini 100 ribu orang di Indonesia, Malaysia dan Singapura.

"Bahkan Bank Dunia melaporkan kerugian Indonesia akibat bencana asap kala itu mencapai US$ 16 miliar," kata Professor Emeritus dari Universitas Hokkaido Jepang dan Presidenn Japan Peatland Society, Mitsuru Osaki kepada wartawan di Pekanbaru, Kamis (11/4/2019).

Peneliti gambut ini menyatakan dukungannya kepada Pemerintah Indonesia terkait moratorium izin baru pengelolaan gambut untuk kepentingan perkebunan. Pasalnya, pembukaan lahan gambut tanpa memikirkan sistem perairan yang baik dan benar membuatnya kering sehingga mudah terbakar.

Hanya saja hingga kini, izin lama untuk perkebunan dan hutan tanaman industri masih banyak beroperasi di lahan gambut. Hal ini tentu tidak bisa dihentikan, tapi perlu sistem pengelolaan gambut yang ramah, baik lingkungan ataupun kesehatan tanaman di atasnya.

Osaki sendiri menawarkan hasil penelitiannya di gambut bernama AeroHydro Culture. Sistem ini disebutnya lebih ramah bagi industri dan perkebunan serta digadang-gadang sebagai solusi restorasi gambut di konsesi perusahaan.

Teknologi AeroHydro Culture dirancang agar sebagian akar tanaman seperti sawit tetap berada di atas dan sebagian lainnya akan berada di air di bawah gambut. Dengan demikian tanaman tetap mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan.

"Diharapkan produktivitas tanaman tetap tinggi meskipun level tinggi muka air dinaikkan ke level kurang dari 40 centimeter di bawah permukaan gambut. Bakteri-bakteri juga ditanam pada tanah sehingga tanaman menyerap nutrisi secara maksimal," sebut Osaki.


Perangi Perubahan Iklim

Proses pemadaman kebakaran lahan gambut di Kota Dumai. (Liputan6.com/M Syukur)

Dia menjelaskan, pengelolaan ekosistem gambut terbilang kompleks. Ada beberapa elemen yang harus dipertimbangkan, mulai dari tinggi muka air, status nutrisi tanah dan air gambut serta ketersediaan oksigen. Selama ini, pertumbuhan tanaman terhambat jika tinggi muka air dinaikkan sehingga pasokan oksigen berkurang dan berakibat kurangnya nutrisi.

"Oleh karena itu perlu terobosan baru sebagai solusi dan diharapkan sistem AeroHydro Culture bekerjasama dengan Badan Restorasi Gambut (BRG)," katanya.

Penerapan sistem ini sudah diekaperimentasikan Osaki dan BRG di Kabupaten Siak serta Palangkaraya. Program ini baru akan dijalankan pada Juni nanti dan mungkin baru setahun lagi bisa dilihat hasilnya.

"Saya optimis sistem ini mampu menjaga ekosistem gambut dan meningkatkan produktivitas tanaman di atasnya," ujar Osaki.

Dia menyatakan, menjaga lahan gambut bagi kelangsungan hidup manusia sangat penting untuk memerangi perubahan iklim. Perlindungan serta pemulihan gambut sangat penting dalam transisi menuju ekonomi rendah karbon dan sirkuler.

Menurutnya, gambut yang sehat akan menyerap dan menyimpan karbon. Namun saat terdegradasi, karbon dilepaskan hingga berakhir di atmosfer sebagai karbon dioksida. Sejauh ini, gambut rusak berkontribusi sekitar 10 persen emisi gas rumah kaca dari sektor penggunaan lahan.

"Emisi CO2 dari lahan gambut yang dikeringkan diperkirakan memproduksi 1,3 gigaton CO2 setiap tahun. Ini setara dengan 5,6 persen dari emisi CO2 antropogenik global. Makanya perlu diterapkan sistem Aerohydro Culture untuk mengelola gambut," tegasnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya