Liputan6.com, Bangkalan Bagi Muhammad Ghozi, peminat Kajian Sejarah Islam Madura, selalu ada hikmah dibalik setiap peristiwa. Tak terkecuali hikmah dibalik batalnya takziyah KH Ma'ruf Amin ke makam leluhurnya di Kabupaten Pamekasan pada 2 April lalu.
Pengadangan oleh pendukung capres nomor urut 02 terhadap rombongan Ma'ruf, dinilai pria 40 tahun itu, sebagai cara Tuhan agar tak ada kekeliruan historis di kemudian hari. Sebab hingga kini letak pusara Pengeran Suhro, leluhur Ma'ruf Amin, di Desa Jambringin, Kecamatan Proppo, masih simpang siur.
Baca Juga
Advertisement
Andai takziyah tidak batal malam itu, Ma'ruf Amin akan dibawa ke satu kompleks makam kuno di Dusun Jambringin Laok yang diyakini sebagai makam Bujuk Jambringin, gelar warga lokal untuk menyebut sosok Pangeran Suhro.
Namun Ghozi yang ikut menyiapkan acara takziyah Ma'ruf itu, tak yakin bahkan cenderung ragu kalau makam sepanjang 3 meter itu adalah pusara Pengeran Suhro karena hanya gundukan tanah liat biasa.
"Sebagai adipati rasanya kurang pas bila makam Pangeran Suhro hanya tanah biasa. Harusnya makamnya dari susunan batu berukir seperti makam raja kuno lainnya," kata Ghozi, Kamis (11/4).
Bujuk Landeur lebih diyakini Ghozi merupakan sosok yang bersemayam dalam panjang itu. Apalagi dalam bahasa Madura, Landeur bermakna panjang. Klaim itu diperkuat cerita rakyat Desa Madegan di Kabupaten Sampang.
Kata Ghozi, secara turun-temurun sosok Landeur itu digambarkan berpostur tinggi mencapai 2,7 meter. Saat wafat Adipati Madegan dan sepupu Raja Pamekasan Pengeran Ronggosukowati itu dikuburkan di Jambringan.
"Klop, Bujuk Landeur tingginya 2,7 meter, makam itu 3 meter. Mungkin karena dimakamkan di luar Madegan maka bentuk makamnya tidak di istimewakan," ujar dia.
Lalu di mana makam Pangeran Suhro? Ghozi yakin letaknya sekira 1 kilometer dari makam Bujuk Landeur. Di sana, ada satu kompleks makam kuno dan bentuk pusaranya khas makam raja yaitu terbuat dari susunan batu kuno berukir. Kompleks itu, ia temukan setelah menyisir beberapa kompleks Pemakaman di Desa Jambringin.
Menurut Ghozi, ada tiga makam di kompleks itu. Tiap nisan terdapat pahatan nama dengan huruf Arab Pegon. Namun hanya satu nisan yang masih bisa terbaca, satu nisan tidak lengkap dan satu tak terbaca. Satu nisan bertulis Pangeran Dillah, satu nisan hanya bertulis pangeran. "Saya meyakini yang hanya bertulis Pengeran itu adalah makam Pengeran Suhro, kalau nisan yang tak terbaca sepertinya makam perempuan," ungkap Ghozi.
Ghozi menyadari temuan itu hanya pintu pembuka. Perlu kajian yang lebih komprehensif melibatkan para ahli dan pemerintah untuk memastikan benar tidaknya apakah itu pusara Pangeran Suhro.
Simak video menarik berikut:
Berawal dari Nama Dua Desa
Selain Desa Jambringin, di Pamekasan ada Desa Sumedangan, letaknya di Kecamatan Pademawu. Menurut Ghozi, penamaan dua desa itu bisa menguak jejak leluhur Ma'ruf Amin. Nama dua desa itu punya silsilah dengan tiga kerajaan di Nusantara, mulai dari Banten, Madura hingga Palembang.
Nama Jambringin berasal dari nama daerah di Palembang. Pengeran Suhro adalah menantu Menak Senoyo, Bangsawan Majapahit-Palembang yang merupakan putra Arya Damar, penguasa Palembang.
"Menak Senoyo awalnya ingin ke Mataram, tapi sampai ke Madura dan kemudian menetap untuk syiar Islam dengan mendirikan Keraton Parupuh, kini menjadi nama Kecamatan Proppo. Lalu ngambil mantu anak Raja Bangkalan Pradoto atau Pengeran Suhro dan diberi wilayah kekuasaan di Kadipaten Jambringin," tutur Ghozi.
Sementara nama Desa Sumedangan berasal nama Kerajaan Sumedang Larang yang berpusat di Banten. Pengeran Suhro merupakan mertua Pengeran Gausan Hulun yang memperistri Putri Narantoko anak Pengeran Suhro dari istri keduanya Dewi Pambayun, putri Raja Demak Bintaro, Raden Trenggono.
Dari perkawinan dengan Gausan Hulu itu, Putri Narantoko mempunyai beberapa anak, salah satunya Pangeran Wiraraja 1 yang dikemudian hari menggantikan tahta Gausan Hulun. Wiraraja 1 punya anak yaitu Mas Wongsorejo atau Raden Aria yang berkuasa di Tangerang.
Setelah wafat Raden Aria inilah yang disebut Syekh Ciliwung dan hingga kini pusaranya keramatkan dan jadi salah tujuan wisata religi. Raden ayu fatimah, salah satu anak Raden Aria kemudian dipersunting Sunan Mahmud, keturunan Sunan Gunung Jati Cirebon.
Singkatnya, mereka kemudian dianugerahi seorang putra yang alim bernama Syekh Hasan Basri. Syekh Hasan punya anak bernama Raden Ayu Kanisah. Raden Ayu punya anak Nyai Ageng Kati. Salah satu putra Nyai Ageng bernama Abdullah. Abdullah lalu dikaruniai putera bernama Mohammad Amin. Amin inilah ayahanda KH Ma'ruf Amin.
"Dari anak yang lain, Abdullah punya cucu yang kemudian menjadi ulama besar Nusantara yaitu Syekh Nawawi Banten. Jadi Kiai Ma'ruf adalah cicit ponakannya Syekh Nawawi al-Bantani," tutur Ghozi.
Advertisement
Jejak di Arosbaya Bangkalan
Ketika berkunjung ke Kabupaten Bangkalan pada Oktober 2018 lalu. KH Ma'ruf Amin juga menyebut dirinya keturunan raja Bangkalan dari Putri Narantoko yang bergelar Nyai Ratu Harisbaya. Harisbaya merujuk nama Desa Arosbaya, dulu daerah ini pernah berdiri Kerajaan bernama Plakaran.
Sejarawan Madura asal Sampang, Ahmat Busyiri Rasyid, mengatakan Nyai Narantoko merupakan Cucu Raja Keraton Bangkalan, Raden Pragalba yang berjuluk Pangeran Plakaran.
Dari istrinya Nyai Ageng Mamah asal Madegan Kabupaten Sampang, Pragalba punya beberapa anak, salah satunya bernama Pradoto yang kemudian menjadi Adipati Jambringin Pamekasan dengan gelar Pangeran Suhro.
Suhro kemudian diambil mantu oleh Raden Trenggono penguasa Demak dan dinikahkan dengan putrinya Dewi Pambayun.
"Dari pernikahan dengan Pembayun inilah, lahir Putri Narantoko yang disebut Kiai Ma'ruf sebagai leluhurnya," tutur dia.
Dari sinilah, cerita versi Ghozi dan Busyiri bertemu. Ketika Nyai Narantoko dipersunting Gausan Hulun, penguasa Kerajaan Sumedang Larang, Pengeran Suhro menghadiahkan sebuah wilayah untuk ditempati warga pendatang dari Sumedang Larang. Hingga kini wilayah itu disebut dengan nama Desa Sumedangan, letaknya di Kecamatan Pademawu.