Pelanggaran Jam Kerja Kembali Dominasi Kasus Disiplin PNS

Selain kasus pelanggaran disiplin berupa ketentuan masuk kerja, ada beberapa kasus disiplin PNS lainnya.

oleh Nurmayanti diperbarui 12 Apr 2019, 12:20 WIB
Ilustrasi Foto PNS. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta Pelanggaran jam kerja masih mendominasi kasus-kasus disiplin yang melibatkan para pegawai negeri sipil (PNS). Ketentuan jam kerja ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pasal 3 Angka 11. 

Mengutip laman Sekretariat Kabinet, Jumat (12/4/2019), pelanggaran ini tercatat dilakukan PNS baik di tingkat instansi pusat dan daerah.

Pelanggaran tidak masuk kerja yang melampaui aturan jam kerja instansi, menjadi pembahasan rapat antara Badan Pertimbangan Kepegawaian (Bapek) bersama Sekretariat Kabinet, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi, pada Kamis (11/4/2019).

Rapat pembahasan yang dipimpin Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana selaku Sekretaris Bapek mengupas 23 kasus disiplin PNS yang kebanyakan terlibat pelanggaran disiplin berupa tidak masuk kerja.

Tim Bapek juga membahas rekomendasi sanksi yang akan dijatuhkan pada PNS yang terlibat pelanggaran disiplin dan melakukan banding administratif ke Bapek.

Selain kasus pelanggaran disiplin berupa ketentuan masuk kerja, ada beberapa kasus disiplin lainnya. Ini seperti penyalahgunaan wewenang sampai perbuatan asusila.

Beragam sanksi yang disarankan mulai dari hukuman disiplin ringan, sedang, dan berat.

Dari aspek regulasi yang diatur dalam PP 53/2010 Pasal 7, hukuman disiplin ringan yang dimaksud berupa teguran lisan atau tulisan, untuk hukuman disiplin sedang bisa dilakukan dengan penurunan pangkat, dan sanksi hukuman disiplin berat berupa pemberhentian.


BKN Temukan 990 Pelanggaran Netralitas PNS

Sejumlah PNS beraktivitas di Jakarta. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Sesuai dengan Surat Edaran Kepala BKN Nomor 02/SE/2016, Aparatur Sipil Negara atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia dituntut untuk netral baik dalam pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), pemilihan Calon Legislatif (Pileg) maupun pemilihan Presiden/Wakil Presiden (Pilpres).

Namun, Badan Kepegawaian Negara (BKN) mencatat terdapat 990 kasus pelanggaran netralitas yang dilakukan PNS terhitung sejak Januari 2018 hingga Maret 2019.

Berdasarkan rekapitulasi data BKN bekerjasama dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), 99,5 persen pelanggaran didominasi pegawai instansi daerah yang meliputi provinsi, kabupaten dan kota. Pengaduan diterima dari laman pengaduan LAPORBKN, email Humas dan media sosial (medsos).

Pelanggaran netralitas PNS ini sebagian besar dilakukan melalui medsos, mulai dari menyebarluaskan gambar pasangan calon, memberikan dukungan, berkomentar, sampai mengunggah foto untuk menyatakan keberpihakan terhadap pasangan calon (paslon) tertentu.


Bukan hanya dari medsos

Selain aktivitas medsos, pelanggaran netralitas yang diterima juga berupa bentuk dukungan secara langsung misalnya menghadiri kampanye paslon dan kegiatan yang bersinggungan dengan partai politik paslon.

BKN sebelumnya sudah mengingatkan ASN untuk tidak memberikan dukungan kepada paslon, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah 53 tahun 2010 Pasal 4.

Jika melanggar, ada sanksi yang harus dihadapi. Tingkat sanksi yang dikenakan mulai dari pemberian hukuman disiplin (HD) sedang sampai HD berat.

Secara terperinci dalam Pasal 7 angka (3) dan (4) disebutkan bahwa penjatuhan HD sedang dilakukan melalui penundaan kenaikan pangkat (KP) selama satu tahun, penundaan kenaikan gaji berkala, dan penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama satu tahun.

Sementara untuk HD berat dilakukan melalui pembebasan jabatan, penurunan pangkat selama tiga tahun, sampai dengan pemberhentian.

Tonton Video Ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya