Sontek Malaysia dan Thailand, Prabowo Sebut Tax Ratio RI Bisa 19 Persen

Tax ratio dan penerimaan pajak yang baik, Indonesia tidak akan kehilangan atau kebocoran dana mengalir ke luar negeri.

oleh Bawono Yadika diperbarui 13 Apr 2019, 21:36 WIB
Calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto memberi paparannya dalam debat kedua Pilpres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2). Semua pertanyaan dalam debat kedua ini dirahasiakan. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Calon Presiden (Capres) Prabowo Subianto menyebutkan Indonesia seharusnya belajar dari negara lain untuk mendorong tax ratio. Salah satunya belajar dari Malaysia.

Dia menjelaskan, dengan tax ratio dan penerimaan pajak yang baik, Indonesia tidak akan kehilangan atau kebocoran dana mengalir ke luar negeri.

"KPK bilang seharusnya Indonesia menerima Rp 4.000 triliun tetapi ternyata hanya Rp 2.000 triliun, berarti ada kebocoran Rp 2.000 triliun," ujar dia di Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (13/4/2019).

Prabowo mengungkapkan, Indonesia perlu belajar ke negara tetangga untuk memperkuat penerimaan pajak Indonesia. Salah satunya membangun melalui teknologi informasi yang mumpuni.

"Malaysia dan Thailand tax ratio-nya 19 persen. Mereka semua transparan karena teknologi informasinya yang baik. Kami yakin dengan program informatika, kita bisa belajar contoh negara lain. Tax ratio kita bisa 16 bahkan 19 persen," ujarnya.


Prabowo Ingin RI Tiru China Atasi Masalah Kemiskinan

Seorang ibu membawa anaknya mencari barang bekas dengan gerobak melintasi kawasan Wahid Hasyim, Jakarta, Kamis (6/10). Penduduk miskin di DKI Jakarta meningkat sebesar 15.630 orang atau meningkat 0,14% dari tahun sebelumnya. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Calon Presiden (Capres) Prabowo Subianto menyatakan Indonesia harus mencontoh China dalam mengatasi masalah kemiskinan. Negeri Tirai Bambu tersebut dinilai berhasil menghilangkan kemiskinan dalam 40 tahun terakhir.

"Kita harus contoh China, dalam 40 tahun China menghilangkan kemiskinan. Kita harus berani belajar dari yang hebat. Saya tidak menyalahkan Pak Jokowi, ini kesalahan kita semua," ujar dia dalam Debat ke-5 di Jakarta, Sabtu (13/4/2019).

Prabowo mengungkapkan, Indonesia selama ini salah arah dalam membangun ekonomi. Ini yang harus segera dikoreksi.

‎"Jadi kembali lagi, saya terus terang saja, saya tidak menyalahkan Pak Jokowi. Ini kesalahan kita sebagai bangsa. Ini sudah berjalan belasan tahun tapi harus berani kita koreksi," kata dia.

Menurut Prabowo, bangsa Indonesia harus kembali berpegangan pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya pasal 33 di mana seluruh kekayaan alam Indonesia harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.

"Kita ini salah jalan, harus kembali ke UUD 45 pasal 33. Kita harus berani pembangunan industrialisasi, ciptaan lapangan kerja, lindungi petani, kita semua harus bertanggung jawab," tandas dia.


Prabowo Sebut Indonesia Salah Arah

Pemandangan gedung bertingkat di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Kamis (14/3). Bank Indonesia (BI) optimistis ekonomi Indonesia akan lebih baik di tahun 2019. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Calon Presiden (Capres) Prabowo Subianto menilai Indonesia berada dalam arah yang salah. Hal ini membuat peningkatan kesejahteraan masyarakat semakin sulit untuk tercapai.

‎"Kami berpandangan bahwa bangsa kita sekarang ini berada dalam arah yang salah. Kalau diteruskan, tidak memungkinkan membawa kesejahteraan yang sebenarnya bagi bangsa Indonesia," ujar dia dalam debat Capres kelima yang berlangsungn di Hotel Sultan Jakarta, Sabtu (13/4/2019).

Prabowo mengungkapkan, salah satu hal yang salah arah yaitu soal banyaknya kekayaan Indonesia yang mengalir keluar negeri selama ini.

‎"Dalam Undang-Undangan 1945 sangat jelas bahwa kita tidak bisa membiarkan kekayaan nasional mengalir ke luar negeri yang juga diakui pemerintah sekarang, kekayaan Indonesia mengalir keluar negeri. Lebih banyak uang orang Indonesia di luar negeri," jelas dia.‎

Selain itu, Prabowo juga menyoroti soal terjadinya deindustrialisasi di Indonesia. Hal ini menurutnya ditandai dengan banyaknya produk impor yang masuk ke Indonesia.

"Terjadi deindustrialisasi, sekarang bangsa Indonesia tidak produksi apa-apa. Kita hanya menerima bahan dari bangsa lain. Kami punya strategi untuk merubah," tandas dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya