Liputan6.com, Jakarta - Calon wakil presiden Sandiaga Uno membahas lemahnya pengelolaan energi di era Presiden Joko Widodo sehingga menciptakan defisit neraca perdagangan. Sandiaga pun menyorot masalah biofuel yang sebetulnya bisa dikembangkan.
Pembanguan industri biofuel ini menurut Sandiaga bisa digencarkan mengingat adanya jutaan lahan rusak di Indonesia. Nantinya, Sandiaga menyebut lahan tersebut dapat dialihkan untuk keperluan biofuel yang notabene berbahan minyak sawit.
"Kita harus bangun biofuel, kita punya 10 juta ha lahan rusak," ujar Sandiaga di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Sabtu (13/4/2019).
Baca Juga
Advertisement
Presiden Jokowi membantah omongan Sandiaga, sebab pemerintahannya sudah mulai memakai biofuel demi mengurangi impor. Program yang dimaksud adalah B20 yang akan terus ditingkatkan menjadi B-100.
"Biofuel itu sudah kita lakukan, B20, nantinya B100, sehingga impor minyak kita berkurang," balas Jokowi.
Kementerian Keuangan sebelumnya juga menjadikan program B20 sebagai cara mengurangi impor sehingga dapat mengontrol defisit neraca dagang. Berdasarkan data Kementerian ESDM, saat ini, di Indonesia bahan baku biodiesel berasal dari Minyak Sawit (CPO).
Regulasi yang mengatur tentang pentahapan mandatori biofuel atau B20 ini adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 12 tahun 2015. Program B20 mewajibkan pencampuran 20 persen Biodiesel dengan 80 persen bahan bakar minyak jenis Solar.
Terlambat Salurkan B20, Pemerintah Denda 12 Perusahaan Senilai Rp 300 Miliar
Direktur Hilir Minyak dan Gas (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rizwi Hisjam, mengatakan bahwa pemerintah telah mengantongi nama 12 badan usaha (BU) Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Bahan Bakar Nabati (BBN) yang terlambat melakukan penyaluran B20 periode September-Oktober 2018. Dia memprediksi total denda seluruhnya sebesar Rp 300 miliar.
"(Denda 12 BU BBM dan BU BBM) sekitar Rp 300 miliar," ujar Rizwi di Kantor Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat, 1 Maret 2019.
Sebelumnya, kata Rizwi, ada 14 badan usaha yang dikenai sanksi. Namun setelah diminta penjelasan dan klarifikasi akhirnya pemerintah memutuskan hanya 12 badan usaha yang mendapat denda keterlambatan.
"Dari 14 yang kita verifikasi, 2 BU kita bebaskan. Artinya keberatannya itu, ketika kita berikan denda, mereka kesempatan untuk klarifikasi. Dari yang mereka sampaikan, akhirnya ada 2 BU yang dibebaskan," jelasnya.
Pembayaran denda ini selanjutkan akan dilakukan usai pemerintah mengirimkan surat ke masing-masing perusahaan. Batas surat penagihan pembayaran denda sebanyak tiga kali, jika tidak bersedia membayar maka pemerintah akan mencabut izin usaha.
"Oh ya nanti, kalau mereka sudah dapat suratnya itu kan segera ya. Kalau mereka gak bayar, kita bikin surat lagi. Secara aturan kita bikin 3 kali surat panggilan. Kalau enggak, mereka bisa kita sanksi seperti cabut izin. Ini baru sekali suratnya," jelas Rizwi.
Rizwi menambahkan, untuk periode setelah September-Oktober 2018 pemerintah belum mendata kembali berapa perusahaan yang melakukan pelanggaran penyaluran B20. Hal ini masih dalam tahap verifikasi oleh Kementerian ESDM.
"Ini kan udah ada komitmen. Kalau mereka langgar, tidak bisa memenuhi ya konsekuensinya denda. Mereka udah pada menyadari semua dari badan usaha (BU) BBM dan BBN. Artinya mereka sudah pahamlah, comply dengan aturan," tandasnya.
Advertisement