Liputan6.com, Jakarta - Selain media sosial, aplikasi pengumpul berita atau news aggregator terus berkembang cukup pesat sebagai wadah masyarakat memperoleh berita. Perilaku orang memperoleh informasi pun berubah.
Menurut Reuters Institute, 36 persen responden mengaku membaca berita karena direkomendasikan secara otomatis oleh mesin yang bekerja di belakang platform.
Shelly Tantri, Head of Business Development BaBe mengatakan cara ini menghasilkan persentase pembaca berita lebih tinggi dibanding konten-konten yang direkomendasikan oleh jurnalis atau editor.
Baca Juga
Advertisement
"Sayangnya, di Indonesia dengan tingkat literasi yang masih rendah (data dari Programme for International Student Assessment peringkat literasi Indonesia adalah nomor 64 dari 72 negara) plus budaya getok tular, gampangnya membagi informasi itu tidak disertai dengan budaya menelaah," ujar Shelly dalam keterangannya, Senin (15/4/2019).
Alhasil, kabar bohong atau hoaks dengan mudah menyebar di media sosial.
"Di sinilah peran news aggregator sebagai penyaring hoaks. Ada beberapa hal yang menjadi alasan pendukung hal itu. Konten dari news aggregator dimoderasi dan berasal dari sumber tepercaya," ucapnya menambahkan.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini
Mengirimkan Informasi Berdasarkan Minat
Selain itu, teknologi kecerdasan buatan yang ada di belakang layanan atau aplikasi news aggregator akan mengirimkan informasi berdasarkan minat warganet sendiri.
Hal tersebut dipastikan bakal memungkinkan luasnya topik dan kedalaman informasi yang dikonsumsi masyarakat luas.
Data dari Daily Social pada 2018 yang melibatkan responden 2.032 pengguna smartphone di berbagai penjuru Indonesia menemukan, sebagian besar responden (44,19 persen) tidak yakin memiliki kepiawaian dalam mendeteksi berita bohong.
Advertisement