Liputan6.com, Jakarta Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) mengaku tengah mengkaji mengenai usulan Cawapres Sandiaga Uno yang ingin menaikkan batas penerimaan tidak kena pajak atau PTKP. Saat ini, pemerintah tengah melakukan penghitungan ulang terkait rencana tersebut.
"Bisa dihitung berapa perbandingannya, kalau pajak diturunkan investasi bisa naik, kalau perusahaan butuhnya 100 kemudian pajak dikurangi dia bisa invest banyak lagi. Itu teorinya itu harapannya sekarang tentu dihitung berapa dibutuhkan anggaran kita," kata JK di ICE BSD Tanggerang, Senin (15/4/2019).
Advertisement
Selain PTKP, yang tengah dikaji untuk diturunkan adalah Pajak Badan (PPh Badan). Namun hal ini masih kajian sebab pengurangan jumlah wajib pajak dikhawatirkan akan berdampak ke penerimaan negara.
"Itu juga lagi di studi Menteri Perekonomian (Darmin Nasution) dan Menteri Keuangan (Sri Mulyani Indrawati) di bidang apa pajak itu dikurangkan, karena juga pengurangan ini meningkatkan investasi tapi lain pihak kalau terlalu cepat penerimaan negara kurang maka pembangunan akan menurun," pungkas dia.
Sebelumnya, Cawapres Sandiaga Uno mengatakan pihaknya berjanji akan menaikkan batas penerimaan tidak kena pajak (PTKP) serta memangkas pajak penghasilan untuk perusahaan.
"Kenaikan PTKP sehingga akan ada banyak uang untuk konsumsi. Pajak korporasi bisa diturunkan untuk menarik investasi dalam menciptakan lapangan kerja," jelas dia dalam debat Minggu lalu.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Prabowo Sebut Rasio Pajak Thailand dan Malaysia 19 Persen, Benarkah?
Calon presiden Prabowo Subianto kembali menyindir rasio pajakIndonesia yang hanya "10 persen". Menurutnya, itu lebih kecil dari negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand.
"Malaysia dan Thailand tax ratio-nya mencapai 19 persen. Mereka laksanakan program information technology, gunakan komputerisasi. Sehingga bisa naik 19 persen," tegas Prabowo di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Sabtu (13/4/2019).
Baca Juga
Kementerian Keuangan juga mengakui bahwa rasio pajak Indonesia masih lebih rendah dari negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Tetapi, terdapat kesalahan data dalam klaim Prabowo.
Menurut laporan OECD tahun 2016, yang masih digunakan pada laporan tahun 2018, pendapatan rasio pajak Malaysia adalah 14,3 persen dari GDP. Sementara, Thailand adalah 18,1 persen.
Terlihat jumlah pajak dua negara itu masih lebih kecil dari klaim Prabowo. Namun, angka rasio pajak Indonesia memang tergolong kecil yakni di level 11 persen.
Itu pun memperlihatkan kesalah lain dalam data Prabowo yang menyebut rasio pajak Indonesia hanya 10 persen. Per tahun 2018, realisasi penerimaan pajak meningkat hingga menjadi 11,5 persen dari GDP.
Advertisement
Prabowo Soroti Kebocoran Penerimaan Negara dan Penurunan Rasio Pajak
Dalam debat pilpres terakhir malam ini, Prabowo Subianto kembali menyoroti soal kebocoran penerimaan negara. Menurut dia, KPK menyebut jika kebocoran penerimaan negara mencapai Rp 2.000 triliun.
"Masalah penerimaan negara ini sangat krusial. KPK menyebut seharusnya kita menerima Rp 4.000 triliun, tetapi hanya Rp 2.000 triliun. Ini berarti ada kebocoran Rp 2.000 triliun. Saya katakan Rp 1.000 triliun, tapi KPK nyatakan lebih," ujar dia.
Selain itu, Prabowo juga menyoroti soal turunnya rasio perpajakan Indonesia dari 16 persen menjadi 10 persen. Penurunan rasio pajak ini dinilai membuar Indonesia kehilangan USD 60 miliar tiap tahun.
"Rasio pajak kita pernah mencapai 16 persen sekarang melorot menjadi 10 persen, kita kehilangan USD 60 miliar tiap tahun," ungkap dia.
Menurut Prabowo, Indonesia harus mencontoh Malaysia dan Thailand dalam meningkatkan rasio pajak menjadi 19 persen. Hal ini bisa dicapai dengan pemanfaatan teknologi informasi yang akan membuat penerimaan pajak menjadi lebih transparan.
"Malaysia dan Thailand tax ratio-nya mencapai 19 persen. Mereka laksanakan program information technology, gunakan komputerisasi. Sehingga bisa naik 19 persen. Dengan program informasi dan teknologi, rasio pajak kita bisa kembali ke 16 persen," tandas dia.
Tonton Video Ini: