Liputan6.com, Jakarta - Jelang pemungutan suara pada 17 April 2019, berita hoaks terus mengalir deras. Masyarakat dibuat bingung dengan pencekokan ragam informasi yang tak valid, terutama seputar politik.
Menurut pengamat Teknologi Informasi (TI) Ruby Alamsyah, dalam menghadapi situasi ini, masing-masing individu di masyarakat hendaknya bisa melakukan proses klarifikasi.
Advertisement
"Bagi yang bisa melakukan klarifikasi teknis secara IT, bantu rekannya, kerabatnya untuk men-counter. Atau bagi masyarakat awam, minimal dia harus mencari informasi pembanding lainnya. Apakah itu di media atau di internet," kata Ruby kepada Liputan6.com, Senin (15/4/2019).
Perangkat untuk mendeteksi kabar hoaks, kata dia, sebenarnya sudah tersedia di sejumlah platform internet. Hanya saja itu perlu disosialisasikan kepada masyarakat.
"Misalnya, informasi hoaksnya foto, simpel, sudah ada tools-nya. Yaitu Google Images. Kan bisa submit foto yang di-broadcast (jadi viral). Apakah itu foto asli dengan narasi yang ada, dan apakah sudah ada yang klarifikasi," jelas Ruby.
Namun yang tersulit, menurutnya terkait dengan narasi. Kendati hal itu bisa ditelusuri melalui proses klarifikasi dengan beragam tahapan.
"Sebenarnya enggak sulit-sulit amat. Kalau terbiasa searching Google, itu simpel. Kalau berupa narasi saja, itu copy paste aja satu kalimat atau satu alinea, di submit di Google. Itu minimal akan ada counter-counter-nya," ujar dia.
Ruby mengungkapkan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebenarnya memiliki perangkat untuk menelusuri benar tidaknya suatu informasi. Begitu pun dengan komunitas maupun instasi lain. Namun semua itu tidak berjalan maksimal lantaran ada kendalanya.
"Kendalanya mereka (dianggap) tidak bisa menunjukkan independensinya. Misalnya komunitas, terkesan pihak tertentu. Kalau Kemenkominfo, (anggapan publik) mengarah ke salah satu pasangan," ucap Ruby.
Untuk itu, dia berpandangan dari sudut IT, secara teknologi bisa dibuat platform yang dapat menjadi tools untuk mendeteksi hoaks. Agar masyarakat dapat mengecek kebenaran suatu informasi.
"Itu udah ada teknologinya dan dibuat platform tertentu. Agar ini bisa digunakan secara luas," ucap dia.
Jurus KPU Deteksi Hoaks
Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting Manik mengaku memiliki cara khusus mendeteksi hoaks yang kian marak pada hari tenang jelang pencoblosan. Jurus dilakukan dengan menggandeng seluruh elemen baik di kabupaten/kota maupun luar negeri.
"Kami akan terus melakukan klarifikasi-klarifikasi terhadap berita yang beredar. Kami terus bekerja untuk menyampaikan semua apa yang beredar, informasi-informasi yang berantai tersebut, kita perbaiki dan koreksi," ujar Evi saat dihubungi Liputan6.com, Senin (15/4/2019).
Untuk itu, ia meminta masyarakat pemilih agar tabayyun, cek and ricek terlebih dulu atas berita yang berkembang. Mereka bisa menelusurinya di platform KPU yang sudah tersedia.
"Kami semuanya sudah terbuka memberikan kesempatan kepada publik, pemilih, bisa mengetahui semua informasi maupun proses pemilunya sendiri di situs KPU. Semua ada," ujar Evi.
Dia menambahkan, KPU juga telah menyediakan informasi lengkap terkait hari pemungutan dan setelah penghitungan suara. Masyarakat dapat memantaunya melalui sistem yang dibuat KPU.
"Kita sudah punya Situng. Sistem penghitungan suara. Yang kami tidak menggunakan teknologi informasi dalam melakukan penghitungan. Karena kita masih lakukan manual," ujar Evi.
Jadi di TPS nanti, kata dia, suara langsung dihitung. Setelah itu dipindai dan diunggah yang kemudian masuk dalam data entry KPU.
"Dan baru disampaikan kepada publik. Publik bisa melihat hasil penghitungan suara di TPS melalui Situng kita. Ini bisa diakses publik, ini semua disiapkan agar pemilu transparan dan akuntabel," jelas dia.
Hoaks tak hanya menyasar paslon yang bertarung dalam Pilpres 2019. Situs Liputan6.com, juga menjadi bidikan penyebar berita bohong.
Berita tak valid itu tersebar di aplikasi WhatsApp dalam dua versi. Pertama berisi hasil sementara pencoblosan yang memenangkan pasangan calon nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf Amin. Selain itu, itu pasangan 02, Prabowo-Sandiaga juga disebut menang dalam hasil sementara.
Data hoaks yang beredar menyebut hasil pemilihan di Saudi Arabia, Yaman, Belgia, Jerman, Uni Emirat Arab, USA, Ukraina, Papua Nugini, Taiwan, Hong Kong, dan Korea Selatan. Kedua versi menampilkan hasil perhitungan kedua paslon menang di atas 50 persen.
Padahal, berita berjudul KPU: Pemungutan Suara Pemilu di Luar Negeri Berlangsung Aman itu berisi tentang pernyataan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang pantauan pemungutan suara di luar negeri.
Wakil Pemimpin Redaksi Liputan6.com, Irna Gustiawati menyayangkan penyalahgunaan artikel tersebut untuk hoaks.
"Liputan6.com sebagai media yang selalu menjaga kepercayaan publik akan berkomitmen menulis berita sesuai fakta dan ikut serta melawan hoaks yang makin marak," kata Irna.
Sementara itu, Ketua KPU Arief Budiman mengungkapkan, pihaknya belum melakukan penghitungan suara atas pencoblosan di luar negeri. Meskipun pencoblosan di luar negeri berlangsung lebih awal, 8-14 April 2019, di TPS maupun early voting.
"KPU memang punya early voting. Jadi pemilihan dilakukan lebih awal dibandingkan dalam negeri. Jadwalnya itu 8 -14 April. Meskipun dilakukan pemungutan lebih awal, tapi penghitungan suaranya dilakukan pada 17 April," kata Arief di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu 10 April 2019.
Karena itu, dia menegaskan, KPU belum merilis hasil penghitungan suara dari pencoblosan di negara mana pun.
"Jadi kalau sudah ada yang mengeluarkan rilis-rilis hasil itu, itu bukan hasil yang dikeluarkan oleh KPU. Karena memang, enggak ada. Kecuali memang ada orang-orang yang melakukan survei melakukan metode exit poll dan segala macam itu," ujar Arief.
Hak senada ditegaskan komisioner KPU Viryan Aziz. Bahkan atas hoaks yang merugikan itu, KPU berencana melaporkan kepada penegak hukum.
"Insyaallah akan kami laporkan ke cyber crime Mabes Polri," kata Viryan di Hotel Haris, FX Sudirman, Jumat 12 April 2019.
Advertisement
Hoaks Terus Meningkat
Jelang pencoblosan Pemilu 2019, kabar bohong yang beredar terus meningkat. Dari data yang dimiliki Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), sejak awal 2019 terjadi lonjakan minimal 100 isu hoaks yang didominasi soal politik.
"Jadi ada yang percaya bahwa hoaks bisa mengubah opini atau sikap politik makanya ada yang bermain pakai hoaks," kata Staf Ahli Kominfo Bidang Hukum Henri Subiakto dalam diskusi Polemik di D'Consulate Resto, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Sabtu (6/4/2019).
Henri membeberkan, data Maret 2019 tercatat 453 isu hoaks. Angka ini bertambah hingga 100 isu, dari bulan sebelumnya Februari 2019 yaitu 353 isu hoaks dan Januari ada 175 isu hoaks.
"Jadi signifikan sekali mendekati Pilpres, dia naik. Saat Pilkada juga trennya demikian (naik)," tutur Henri.
Tidak hanya di Indonesia, Henri menyebut tren peningkatan hoaks di pesta demokrasi kerap terjadi. Pun di negara maju seperti Amerika Serikat. Artinya, hampir semua proses demokrasi era digital ini ada pihak yang sengaja memanfaatkan hoaks.
"Tren setiap mendekati pilpres atau pilkada naik berarti ada yang memanfaatkan. Jika hoaks sudah menyangkut politik berarti sudah menjadi a part of political game," pungkas Henri.
Sementara itu, data Survei Nasional Digitroops Indonesia menyebut, hoaks yang tersebar acap kali merugikan pasangan 01. Hal itu terungkap dalam penelitian yang dilakukan pada 18 hingga 26 Maret 2019 dengan 1.200 responden di seluruh Indonesia.
"Dari 48,2 persen responden yang pernah mendengar isu itu, 46,9 persen memercayainya isu Jokowi membiarkan Indonesia dibanjiri tenaga kerja asing paling banyak dikenal publik," kata Peneliti Digitroops, Yusep Munawar Sofyan dalam rilis survei bertema 'Hoaks di Media Sosial dan Efek Elektoralnya' di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis 11 April 2019.
Kata dia, isu hoaks lebih banyak menyerang paslon nomor 01 ketimbang paslon 02. "Dari data kami, hoaks yang menyerang Jokowi jauh lebih banyak," ujarnya.
Dia membeberkan isu terpupuler yang merugikan Jokowi, terkait Indonesia banjir tenaga kerja asing. Dari 48,2 persen responden yang pernah mendengar isu itu, sebanyak 46,9 persen percaya.
Kemudian, terkait Jokowi mengkriminalisasi ulama. Dari 33,8 persen responden, sebanyak 19,7 persen percaya isu itu. Dan terkait isu Jokowi akan melarang azan jika menang, dari 25,5 persen yang mendengar, sebanyak 19,5 persen mempercayai isu itu.
Survei ini menggunakan metode multi stage random sampling menggunakan kuesioner dengan margin of error kurang lebih 2,8 persen.
Saksikan video pilihan berikut ini: