Liputan6.com, Jakarta Majelis hakim menunda pembacaan vonis terhadap Idrus Marham, terdakwa penerima suap atas proyek PLTU Riau-1. Kendati sidang vonis kembali molor, Idrus berharap vonis hakim sesuai fakta persidangan yang menurutnya tidak ada keterangan atau bukti penerimaan suap oleh dirinya.
"Kotjo (Johannes Budisutriano Kotjo) yang punya proyek mengatakan Idrus itu enggak paham sekali, Eni mengatakan ada perubahan arah politik yang tadinya Idrus calon Ketua Umum (Partai Golkar) jadi enggak jadi, berarti uang uang enggak ke Idrus," ujar Idrus Marham, Jakarta Pusat, Selasa (16/4/2019).
Advertisement
Berdasarkan fakta persidangan itu, ia mengatakan sedianya jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membebaskannya dari segala tuntutan.
"Saya sebenarnya minta tadinya JPU harus berdasarkan fakta dan harus berani membuat terobosan hukum, kalau memang faktanya tidak ada, ya tuntut saya bebas dong," tandasnya.
Sementara itu majelis hakim mengatakan sidang vonis terhadap Idrus Marham baru dilakukan usai pemilu 2019. Jika sedianya hari ini sidang vonis maka diundur satu pekan kemudian, 23 April.
Majelis hakim yang diketuai Yanto menjelaskan alasan penundaan karena waktu yang mencukupi mengingat dua hakim anggotanya harus bertolak ke kampung halaman masing-masing untuk memberikan hak suara mereka besok.
Dituntut 5 Tahun
Sebelumnya, mantan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham dituntut 5 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia terbukti menerima suap Rp 2,25 miliar dari Johannes Budisutrisno Kotjo terkait proyek PLTU Riau-1.
Jaksa menilai peran Idrus cukup aktif berkomunikasi dengan Eni Maulani Saragih, mantan anggota Komisi XI DPR sekaligus terdakwa dalam kasus yang sama membahas proyek tersebut.
Jaksa menyebut penerimaan uang oleh Idrus sebesar Rp 2,25 miliar diterima melalui staf Eni bernama Tahta Maharaya. Uang tersebut dipergunakan kepentingan musyawarah nasional luar biasa (munaslub) Partai Golkar 18 Desember 2017, dengan agenda penetapan Ketua Umum menggantikan Setya Novanto yang terjerat kasus korupsi proyek e-KTP.
Dalam tuntutan, jaksa mencantumkan hal memberatkan yakni perbuatan mantan Mensos itu tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sementara ada hal meringankan dari tuntutan Idrus yaitu bersikap sopan selama persidangan, belum pernah dipidana dan tidak menikmati hasil kejahatannya.
Hal yang meringankan sopan, ia belum pernah dipidana, tidak menikmati hasil kejahatan.
Idrus dituntut telah melanggar Pasal 12 huruf a atau undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Reporter: Yunita Amalia
Sumber: Merdeka.com
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement